Diktat Filsafat
Timur
Bab I. Sekilas
perbandingan Filsafat Barat dan Filsafat Timur
A.
Pengantar
Kita sudah sering mendengar tentang
Filsafat Barat yang sudah begitu berkembang dan begitu berproses. Pusat dari
dunia filsafat barat adalah Yunani. Kini kita akan sejenak mengalihkan
perhatian kita pada dunia filsafat yang lain, yaitu Filsafat Timur. Filsafat
Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya India,
Tiongkok dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya.
Berbeda dengan filsafat barat yang
sangat diwarnai dengan kekhasan mereka yaitu kritis dan sistematis, Filsafat
timur sering dianggap sebagai pemikiran yang tidak rasional, tidak sistematis
dan tidak Kritis. Ini yang kemudian menjadi alasan mengapa Filsafat Timur tidak
dianggap sebagai filsafat. Sebuah ciri khas filsafat timur ialah dekatnya
hubungan filsafat dengan agama. Tidaklah mengherankan kalau kemudian filsafat
timur lebih dipandang sebagai filsafat agama juga, meski sebenarnya termasuk
falsafah hidup. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kemudian banyak orang
melihat filsafat Timur sebagai kepercayaan religius atau agama.
Jika pemikiran Timur dianggap
sebagai agama, maka pemikiran itu tidak dapat disebut filsafat, mengingat
keduanya memiliki sifat-sifat yang bertolak belakang. Meskipun sama-sama
bertujuan menemukan kebenaran, keduanya memiliki perbedaan mendasar. Agama mengajarkan
kepatuhan; filsafat mengandalkan kemampuan berpikir kritis yang sering tampil
dalam perilaku meragukan, mempertanyakan, dan membongkar sampai ke
akar-akarnya. Pengetahuan yang oleh agama wajib diterima, dalam filsafat
seringkali (hampir selalu) digunakan, dipertanyakan dan dibongkar sampai ke
akar-akarnya, untuk kemudian dikonstruksi menjadi pemikiran baru yang dianggap
lebih masuk akal.
Memang ada pemikir yang melihat
agama dan filsafat sebagai dua bidang yang sejalan. Santo Agustinus dan Thomas
Aquinas sebagai filsuf yang juga agamawan Kristiani, misalnya, berpendapat
agama dan filsafat adalah dua hal yang sejalan. Dari khasanah Islam, Iqbal,
menegaskan bahwa agama Islam dan filsafat semestinya beriringan untuk mencapai
kebenaran. Tetapi, pada praktiknya sangat sulit untuk menyandingkan keduanya.
Selalu ada yang mesti dikorbankan, yang satu harus menjadi subordinat yang
lain.
Dalam pemikiran Eropa, agama dan
filsafat lebih sering dibedakan. Filsafat juga sering dipertentangkan dengan
ilmu pengetahuan (science). Bertrand Russell memberi pengertian metaforis
terhadap filsafat sebagai “... the
no-man’s land between science and theology. Exposed to attack from both sides.”
Filsafat adalah sebuah wilayah tak bertuan di antara ilmu dan teologi yang siap
diserang oleh keduanya. Di sisi lain,
filsafat juga memiliki kemungkinan untuk menyerang ilmu dan teologi. Jadi, jika
pemikiran Timur dianggap agama, maka wajar saja pemikiran itu digolongkan
sebagai bukan filsafat. Filsafat dimanfaatkan oleh banyak bidang yang bertikai,
seperti ilmu pengetahuan dan agama, pertikaian antar-agama dan pertikaian
antar-ilmu.
Di pihak lain, tidak sedikit pula
yang memperlakukan pemikiran Timur sebagai suatu pisau bedah bagi banyak
permasalahan filosofis, bahkan mereka mengembangkannya dengan menggunakan
sistematika berpikir yang filosofis. Pemikiran filosofis ditegaskan bukan hanya
monopoli Barat, tetapi juga menjadi bahan pergulatan manusia Timur dalam
hidupnya. Pemikiran etis dari Confusius, contohnya, banyak membahas bagaimana
hidup yang baik bagi manusia dan bagaimana manusia mencapai kebahagiaan dalam
hidupnya.
Pemikiran macam ini juga menjadi
pembicaraan etika yang hangat dalam pemikiran barat. Sejak Socrates, Plato, dan
Aristoteles pembahasan tentang kebahagiaan dan bagaimana manusia mencapainya
merupakan bahan perenungan filsafat Barat. Aristoteles, contohnya, mengemukakan
bahwa kebahagiaan harus merupakan tujuan pada dirinya sendiri yang dapat
tercapai apabila seseorang menjalankan fungsi khasnya sebagai mahkluk rasional.
Manusia akan bahagia apabila ia menjalankan hidup dan keutamaan. Hidup, dengan
keutamaan pada praktiknya, adalah hidup di mana manusia bisa mengatur
perbuatannya dengan rasio yang selalu mengambil kendali atas dorongan-dorongan
instinktif yang menyesatkan ( MacIntyre, 1996).
B. Pemikiran Timur sebagai Filsafat
Kalau kita berpikir bahwa filsafat
adalah pemikiran yang harus memenuhi kriteria yang digunakan dalam filsafat
barat, maka sulit diterima untuk menggolongkan pemikiran timur sebagai
filsafat. Berbeda dengan filsafat Barat, pemikiran Timur tidak menampilkan
sistematika yang biasa dipakai dalam filsafat Barat, seperti pembagian bidang
kajian filsafat menjadi metafisika, epistemologi, dan axiologi. Selain itu
pemikiran Timur seringkali diterima begitu saja oleh penganutnya tanpa suatu
kajian kritis terlebih dahulu, sehingga banyak pemikir filsafat yang mengklaim
pemikiran Timur sebagai agama. Beberapa kajian terhadap pemikiran Timur juga
menunjukkan kurangnya telaah kritis terhadap pemikiran timur yang dilakukan
oleh mereka yang mendalaminya. Mereka sering menafsirkan, berusaha memahaminya,
kemudian mengamalkannya. Dari sini terkesan pemikiran Timur hanya seperangkat
tuntutan praktis untuk menjalani hidup atau sebagai serangkaian aturan
bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan.
Itu semua bukanlah patokan yang
menentukan apakah pemikiran timur dapat digolongkan sebagai filsafat atau tidak.
Di barat sendiri pengertian filsafat
sudah makin bergeser. Kalau kita bicara tentang sistematika, filsafat barat
mutakhir, seperti filsafat yang ditampilkan oleh Richart Rorty, Quinne, dan
Derrida sudah tidak berbicara soal pembagian bidang kajian filsafat lagi. Rorty
bahkan menyatakan epistemologi –bidang filsafat yang mengkaji seluruh
pengetahuan yang mungkin diperoleh manusia mulai dari asal usulnya, bagaimana
cara mendapatkannya, sampai pengujian benar salahnya-sudah mati.
Sampai di sini terlihat bahwa alasan
pemikiran Timur bukanlah filsafat karena tidak memiliki sistematika yang harus
dimiliki filsafat tidak relevan lagi. Pemikiran Timur bisa jadi merupakan suatu
bentuk filsafat meski tanpa sistematika seperti yang ditampilkan filsafat
Barat.
Dalam mempertanyakan kriteria barat
dalam penilaian kualitas sebuah pemikiran filosofis, Foucault mengajukan tesis
yang menarik tentang hubungan pengetahuan dan kekuasaan. Foucault melihat bahwa
suatu patokan keilmuan atau filosofis tertentu sangat dipengaruhi (kalau tidak
bisa disebut ‘ditentukan’) oleh kekuasaan yang dimiliki pihak-pihak penyampai
patokan-patokan itu. Tesis Foucault ini dapat membantu kita memahami mengapa
barat cenderung menolak filsafat Timur. Dalam penentuan apakah pemikiran Timur
merupakan filsafat atau bukan filsafat, selama ini Barat-lah yang berperan
secara dominan. Kita tahu bahwa dominasi Barat dan Timur sangat besar, apalagi
dalam ilmu dan filsafat. Penentuan pemikiran Timur sebagai ‘bukan filsafat’ tak
lepas dari pengaruh kekuasaan Barat yang memaksaka kriteria-kriteria mereka
kepada pemikiran Timur. Memang secara etimologis (asal-usul kata) istilah
filsafat muncul di Barat, namun filsafat bukanlah monopoli Barat. Timur juga punya
begitu banyak pemikiran yang tak kalah dalam, dan bahkan beberapa lebih
mendalam, lebih analitis dan kritis daripada pemikiran Barat.
Fu Yu Lan menunjukkan bahwa
pengertian filsafat tidak selalu seperti pengertian yang digunakan oleh
filsafat Barat. Mengingat asal kata filsafat (philosophy) adalah philos dan
sophis, dengan arti ‘cinta akan kebenaran’, maka filsafat Timur dapat
dikategorikan sebagai filsafat. Pemikiran Timur adalah proses dan hasil usaha
manusia untuk memperoleh kebenaran yang didasari rasa cinta mereka kepada
kebenaran. Pendeknya, sebuah pemikiran yang berusaha untuk mendapatkan
kebenaran dan didasari oleh kecintaannya pada kebenaran dapat disebut filsafat.
Pendapat Fung Yu Lan ini jauh-jauh hari sudah dikemukakan oleh Socrates yang kemudian
dikutip oleh Plato dalam Phaedrus.
Orang-orang yang gagasan dan
pemikirannya didasari oleh pengetahuan tentang kebenaran dan dapat
mempertahankannya dengan argumentasi yang kuat, patut disebut filsuf. Mereka
adalah pecinta kebijaksanaan atau wisdom. Dengan dasar ini pemikiran-pemikir
Timur seperti Confucius, Lao Tze, dan Sidharta Gautama layak disebut filsuf.
Dengan demikian buah pikirannya dapat digolongkan sebagai pemikiran filosofis.
Batasan yang dikemukakan Fung Yu Lan
yang sejalan dengan Socrates dan Plato ini sering dianggap masih terlalu umum.
Pengertian kebenaran atau kebijaksanaan di sini masih belum jelas. Pengertian
kebijaksanaan atau wisdom perlu kita perjelas di sini.
Kata wisdom, yang kadang
diterjemahkan sebagai kebijaksanaan dan kadang sebagai kebenaran, menurut Brand
Blanshard dalam The Encyclopedia of Philosophy (vol. 8, hal 322-324) diartikan
sebagai, “... a practical knowledge based
on reflection and judgment concerned with the art of living.”
Wisdom sebagai pengetahuan praktis yang
didasari oleh refleksi dan penilaian disertai dengan kepedulian terhadap seni
kehidupan tampil pula dalam pemikiran para pemikir Timur seperti Sidharta
Gautama dan sangat luas dan umum. Blanshard menilai banyak filsuf modern
mengabaikan pencapaian kebijaksanaan dengan dua kemungkinan alasan: pertama
karena merasa bahwa penilaian terhadap apa yang digolongkan sebagai
kebijaksanaan lebih didasari oleh perasaan (feelings) dan
keinginan/nafsu/gairah (desires atau passion) ketimbang pengetahuan. Kedua, penilaian
itu didasari oleh intuisi yang sulit dipertahankan dengan argumentasi logis.
Namun, menurut Sanderson Beck
penggunaan perasaan, gairah dan intuisi dalam proses memahami sesuatu bukanlah
hal yang buruk. Perasaan, gairah, dan intuisi merupakan sesuatu yang manusiawi.
Manusia diperkaya oleh kemampuan-kemampuan non-rasional itu untuk menjalani
hidupnya. Justru manusia akan jadi timpang jika hanya menggunakan rasio saja.
Intuisi, informasi-informasi yang diperoleh lewat perasaan dan gairah merupakan
modal awal manusia untuk memahami lingkungannya. Rasio kemudian membantu
memperjelas dan mempertajam pemahaman itu. Beck menunjukkan hal itu dengan
percobaannya menemukan pengertian wisdom secara intuitif, kemudian mengkajinya
secara rasional.
Beck berpendapat, “Wisdom is the
knowledge of and action for the highest good of all concerned.” Bagi Beck,
kebijaksanaan atau wisdom adalah pengetahuna tentang dan tindakan untuk
mencapai kebaikan tertinggi dalam segala aspek. Ada dua kondisi yang niscaya
(necessary conditions) yang harus ada dalam pengertian kebijaksanaan dan
keduanya tak bisa berdiri sendiri:
1) Pengetahuan tentang kebaikan tertinggi (knowledge of the highest good); dan
2) Tindakan untuk mencapai kebaikan tertinggi (action for the highest good)
Mengetahui apa yang benar dan apa
yang tidak benar saja bukanlah kebijaksanaan. Begitu pula mengerjakan sesuatu
yang benar tanpa tahu bahwa itu benar. Untuk dapat menilai seseorang sebagai
orang bijaksana, keduanya harus tampil sekaligus pada diri orang itu. Perolehan
pengetahuna tentang kebaikan tertinggi dan tindakan untuk mencapainya
melibatkan keseluruhan diri manusia, bukan hanya rasio. Keseluruhan sistem
psikofisik manusia terlibat di sini. Perlibatan keseluruhan diri manusia inilah
yang terlihat dalam pemikiran-pemikiran timur.
Seringkali dua kondisi niscaya yang
terkandung dalam kebijaksanaan inilah yang kemungkinan luput dari pemahaman
para pengikut pemikir Timur. Mereka mengamalkan saja ajaran-ajaran para pemikir
Timur seperti Confucius dan Sidharta Gautama, dalam tindakan tanpa mengetahui
secara mendasar kebaikan tertinggi, tidak akan mencapai mencapai kebijaksanaan.
Pembahasan yang hanya membicarakan pengetahuan tertinggi tanpa menjalankannya
dalam tindakan juga tidak akan membawa kepada kebijaksanaan. Untuk mencapai
kebijaksanaan, mereka harus melibatkan keseluruhan dirinya. Pikiran dan
perbuatan perlu terlibat secara intensif dalam pencapaian kebijaksanaan. Inilah
filsafat dalam pengertian para pemikir Timur seperti Lao Tze, Confucius,
Sidharta Gautama, para filsuf Hindu dan Islam.
Selain batasan yang dikemukakan Fung
Yu Lan, kriteria-kriteria yang tercakup dalam pengertian filsafat sebagai upaya
memahami segala sesuatu secara kritis, sistematis, dan radikal tetap perlu
dipenuhi oleh pemikiran Timur agar pemikiran Timur terbuka pada pengembangan
yang lebih luas lagi. Dengan begitu juga dapat dihindari terjadinya pembekuan
pemikiran Timur menjadi ajaran dogmatis. Hanya batasan pengertiannya perlu
diklarifikasi dan dilepaskan dari ‘wacana’ filsafat Barat. Di sisi lain
pemikiran Timur sendiri perlu mawas diri dan membuka diri pada berbagai
modifikasi. Pendapat Iqbal dapat dijadikan bahan instrospeksi diri bagi
pemikiran Timur. Iqbal mengajak orang-orang Timur untuk menilai secara obyektif
isi dari pemikiran Barat, menilai baik-buruk pemikiran itu berdasarkan kualitas
isinya, bukan berdasarkan siapa yang menyampaikannya. Iqbal secara kritis
menilai pemikiran Barat memiliki banyak keunggulan dan di sisi lain menentang
pengagungan rasinalisme Barat dengan argumentasi-argumentasi tajam dan masuk
akal. Apa yang dilakukan Iqbal perlu dilakukan oleh para pengembang pemikiran
Timur.
Untuk mempertegas kehadirannya
sebagai filsafat, belakangan pengkajian pemikiran Timur menyertakan juga
pemenuhan kriteria-kriteria yang umumnya diterapkan pada filsafat. Yang pertama
kali perlu dijadikan patokan adalah kriteria “filsafat sebagai usaha yang
kritis”. Ini merupakan pengertian yang paling penting bagi berkembangnya
pemikiran filsafat. Perkembangan pemikiran filsafat membutuhkan adanya dialog,
diskusi, adu argumentasi, dan kesiapan membuka diri terhadap berbagai
pemikiran. Untuk itu kemampuan berpikir kritis sangat dibutuhkan. Pemikiran
Timur yang sudah ada merupakan bahan material yang perlu diolah sedemikian rupa
secara kritis dan terbuka terhadap berbagai modifikasi. Pengolahan yang kritis
dan sifat terbuka terhadap perbaikan akan memberi kualitas filosofis yang
kental pada pemikiran Timur.
Pada prakteknya, kajian-kajian
kritis terhadap pemikiran Timur sudah banyak dilakukan. Perbandingan-perbandingan
pemikiran dari para pemikir Timur juga sudah banyak yang diperbandingkan.
Sebagai contoh, perbandingan antara pemikiran Confucius dan Socrates yang
dilakukan oleh Saderson Beck dalam karyanya Confucius and Socrates: The
Teaching of Wisdom.
Kriteria sistematis bukan berarti
filsafat Timur harus memiliki bagian-bagian seperti yang dimiliki filsafat
Barat yang secara umum mencakup metafisika, epistemologi, dan axiologi.
Pemenuhan kriteria antara satu sistem pemikiran dengan lainnya. Dalam pemikiran
Cina misalnya, sistematikanya bisa berdasarkan pada konstruksi kronologis,
mulai dari proses penciptaan alam hingga meninggalnya manusia yang dijalin
secara runut. Yang penting ada alur yang runut dalam setiap sistem pemikiran,
ada masalah yang jelas, ada proses pengolahan informasi sebagai upaya
penyelesaian maslah, dan ada solusi bagi masalah itu.
Sifat radikal dalam arti mendalam
sampai ke akar-akarnya pada filsafat Timur sudah tampak sejak para pemikir
Timur mengemukakan buah pikirannya. Apa yang dilakukan Sidharta Gautama adalah
sesuatu yang sangat radikal bagi masanya. Ia mencoba menggali hakikat hidup
sampai sedalam-dalamnya. Ia bahkan mencabut akar-akar kehidupan yang lama di
India waktu itu dan mengembangkan sistem pemikiran baru yang kini kita kenal
dengan Budhisme. Sifat radikal dari pemikiran Timur mungkin tidak banyak
ditampilkan oleh para pengikut pemikir-pemikir besar seperti Budha dan
Confucius sehingga terkesan dogmatis dan tidak mendalam. Tetapi di akhir abad
ke-20, pengkajian Budhisme dan Confucianisme sudah menampilkan sifat-sifat
radikal. Budhisme dan Confucianisme siap untuk membedah dan dibedah
habis-habisan, terbuka kepada berbagai kemungkinan modifikasi sampai ke
akar-akarnya.
Pengertian ketiga kriteria yang
diajukan di atas menjadi dasar kategorisasi terhadap pemikiran Timur.
Pengertian-pengertian itu memungkinkan berbagai pemikiran lain di luar
pemikiran filsafat Barat masuk dalam kategori filsafat. Dengan mendasarkan pada
pengertian-pengertian itu, pemikiran Timur, seperti Hinduisme, Budhisme,
Daoisme, Budhisme Chan, dan pemikiran Islam dapat disebut sebagai filsafat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar