Senin, 10 September 2012

BAB 1 Filsafat Timur Hendry



Diktat Filsafat Timur

Bab I. Sekilas perbandingan Filsafat Barat dan Filsafat Timur

A.    Pengantar
Kita sudah sering mendengar tentang Filsafat Barat yang sudah begitu berkembang dan begitu berproses. Pusat dari dunia filsafat barat adalah Yunani. Kini kita akan sejenak mengalihkan perhatian kita pada dunia filsafat yang lain, yaitu Filsafat Timur. Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya India, Tiongkok dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya.
Berbeda dengan filsafat barat yang sangat diwarnai dengan kekhasan mereka yaitu kritis dan sistematis, Filsafat timur sering dianggap sebagai pemikiran yang tidak rasional, tidak sistematis dan tidak Kritis. Ini yang kemudian menjadi alasan mengapa Filsafat Timur tidak dianggap sebagai filsafat. Sebuah ciri khas filsafat timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Tidaklah mengherankan kalau kemudian filsafat timur lebih dipandang sebagai filsafat agama juga, meski sebenarnya termasuk falsafah hidup. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kemudian banyak orang melihat filsafat Timur sebagai kepercayaan religius atau agama.
Jika pemikiran Timur dianggap sebagai agama, maka pemikiran itu tidak dapat disebut filsafat, mengingat keduanya memiliki sifat-sifat yang bertolak belakang. Meskipun sama-sama bertujuan menemukan kebenaran, keduanya memiliki perbedaan mendasar. Agama mengajarkan kepatuhan; filsafat mengandalkan kemampuan berpikir kritis yang sering tampil dalam perilaku meragukan, mempertanyakan, dan membongkar sampai ke akar-akarnya. Pengetahuan yang oleh agama wajib diterima, dalam filsafat seringkali (hampir selalu) digunakan, dipertanyakan dan dibongkar sampai ke akar-akarnya, untuk kemudian dikonstruksi menjadi pemikiran baru yang dianggap lebih masuk akal.
Memang ada pemikir yang melihat agama dan filsafat sebagai dua bidang yang sejalan. Santo Agustinus dan Thomas Aquinas sebagai filsuf yang juga agamawan Kristiani, misalnya, berpendapat agama dan filsafat adalah dua hal yang sejalan. Dari khasanah Islam, Iqbal, menegaskan bahwa agama Islam dan filsafat semestinya beriringan untuk mencapai kebenaran. Tetapi, pada praktiknya sangat sulit untuk menyandingkan keduanya. Selalu ada yang mesti dikorbankan, yang satu harus menjadi subordinat yang lain.
Dalam pemikiran Eropa, agama dan filsafat lebih sering dibedakan. Filsafat juga sering dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan (science). Bertrand Russell memberi pengertian metaforis terhadap filsafat sebagai “... the no-man’s land between science and theology. Exposed to attack from both sides.” Filsafat adalah sebuah wilayah tak bertuan di antara ilmu dan teologi yang siap diserang oleh keduanya. Di sisi lain, filsafat juga memiliki kemungkinan untuk menyerang ilmu dan teologi. Jadi, jika pemikiran Timur dianggap agama, maka wajar saja pemikiran itu digolongkan sebagai bukan filsafat. Filsafat dimanfaatkan oleh banyak bidang yang bertikai, seperti ilmu pengetahuan dan agama, pertikaian antar-agama dan pertikaian antar-ilmu.
Di pihak lain, tidak sedikit pula yang memperlakukan pemikiran Timur sebagai suatu pisau bedah bagi banyak permasalahan filosofis, bahkan mereka mengembangkannya dengan menggunakan sistematika berpikir yang filosofis. Pemikiran filosofis ditegaskan bukan hanya monopoli Barat, tetapi juga menjadi bahan pergulatan manusia Timur dalam hidupnya. Pemikiran etis dari Confusius, contohnya, banyak membahas bagaimana hidup yang baik bagi manusia dan bagaimana manusia mencapai kebahagiaan dalam hidupnya.
Pemikiran macam ini juga menjadi pembicaraan etika yang hangat dalam pemikiran barat. Sejak Socrates, Plato, dan Aristoteles pembahasan tentang kebahagiaan dan bagaimana manusia mencapainya merupakan bahan perenungan filsafat Barat. Aristoteles, contohnya, mengemukakan bahwa kebahagiaan harus merupakan tujuan pada dirinya sendiri yang dapat tercapai apabila seseorang menjalankan fungsi khasnya sebagai mahkluk rasional. Manusia akan bahagia apabila ia menjalankan hidup dan keutamaan. Hidup, dengan keutamaan pada praktiknya, adalah hidup di mana manusia bisa mengatur perbuatannya dengan rasio yang selalu mengambil kendali atas dorongan-dorongan instinktif yang menyesatkan ( MacIntyre, 1996).

B. Pemikiran Timur sebagai Filsafat
Kalau kita berpikir bahwa filsafat adalah pemikiran yang harus memenuhi kriteria yang digunakan dalam filsafat barat, maka sulit diterima untuk menggolongkan pemikiran timur sebagai filsafat. Berbeda dengan filsafat Barat, pemikiran Timur tidak menampilkan sistematika yang biasa dipakai dalam filsafat Barat, seperti pembagian bidang kajian filsafat menjadi metafisika, epistemologi, dan axiologi. Selain itu pemikiran Timur seringkali diterima begitu saja oleh penganutnya tanpa suatu kajian kritis terlebih dahulu, sehingga banyak pemikir filsafat yang mengklaim pemikiran Timur sebagai agama. Beberapa kajian terhadap pemikiran Timur juga menunjukkan kurangnya telaah kritis terhadap pemikiran timur yang dilakukan oleh mereka yang mendalaminya. Mereka sering menafsirkan, berusaha memahaminya, kemudian mengamalkannya. Dari sini terkesan pemikiran Timur hanya seperangkat tuntutan praktis untuk menjalani hidup atau sebagai serangkaian aturan bagi  manusia untuk mencapai kebahagiaan. Itu semua bukanlah patokan yang menentukan apakah pemikiran timur dapat digolongkan sebagai filsafat atau tidak.
Di barat sendiri pengertian filsafat sudah makin bergeser. Kalau kita bicara tentang sistematika, filsafat barat mutakhir, seperti filsafat yang ditampilkan oleh Richart Rorty, Quinne, dan Derrida sudah tidak berbicara soal pembagian bidang kajian filsafat lagi. Rorty bahkan menyatakan epistemologi –bidang filsafat yang mengkaji seluruh pengetahuan yang mungkin diperoleh manusia mulai dari asal usulnya, bagaimana cara mendapatkannya, sampai pengujian benar salahnya-sudah mati.
Sampai di sini terlihat bahwa alasan pemikiran Timur bukanlah filsafat karena tidak memiliki sistematika yang harus dimiliki filsafat tidak relevan lagi. Pemikiran Timur bisa jadi merupakan suatu bentuk filsafat meski tanpa sistematika seperti yang ditampilkan filsafat Barat.
Dalam mempertanyakan kriteria barat dalam penilaian kualitas sebuah pemikiran filosofis, Foucault mengajukan tesis yang menarik tentang hubungan pengetahuan dan kekuasaan. Foucault melihat bahwa suatu patokan keilmuan atau filosofis tertentu sangat dipengaruhi (kalau tidak bisa disebut ‘ditentukan’) oleh kekuasaan yang dimiliki pihak-pihak penyampai patokan-patokan itu. Tesis Foucault ini dapat membantu kita memahami mengapa barat cenderung menolak filsafat Timur. Dalam penentuan apakah pemikiran Timur merupakan filsafat atau bukan filsafat, selama ini Barat-lah yang berperan secara dominan. Kita tahu bahwa dominasi Barat dan Timur sangat besar, apalagi dalam ilmu dan filsafat. Penentuan pemikiran Timur sebagai ‘bukan filsafat’ tak lepas dari pengaruh kekuasaan Barat yang memaksaka kriteria-kriteria mereka kepada pemikiran Timur. Memang secara etimologis (asal-usul kata) istilah filsafat muncul di Barat, namun filsafat bukanlah monopoli Barat. Timur juga punya begitu banyak pemikiran yang tak kalah dalam, dan bahkan beberapa lebih mendalam, lebih analitis dan kritis daripada pemikiran Barat.
Fu Yu Lan menunjukkan bahwa pengertian filsafat tidak selalu seperti pengertian yang digunakan oleh filsafat Barat. Mengingat asal kata filsafat (philosophy) adalah philos dan sophis, dengan arti ‘cinta akan kebenaran’, maka filsafat Timur dapat dikategorikan sebagai filsafat. Pemikiran Timur adalah proses dan hasil usaha manusia untuk memperoleh kebenaran yang didasari rasa cinta mereka kepada kebenaran. Pendeknya, sebuah pemikiran yang berusaha untuk mendapatkan kebenaran dan didasari oleh kecintaannya pada kebenaran dapat disebut filsafat. Pendapat Fung Yu Lan ini jauh-jauh hari sudah dikemukakan oleh Socrates yang kemudian dikutip oleh Plato dalam Phaedrus.
Orang-orang yang gagasan dan pemikirannya didasari oleh pengetahuan tentang kebenaran dan dapat mempertahankannya dengan argumentasi yang kuat, patut disebut filsuf. Mereka adalah pecinta kebijaksanaan atau wisdom. Dengan dasar ini pemikiran-pemikir Timur seperti Confucius, Lao Tze, dan Sidharta Gautama layak disebut filsuf. Dengan demikian buah pikirannya dapat digolongkan sebagai pemikiran filosofis.
Batasan yang dikemukakan Fung Yu Lan yang sejalan dengan Socrates dan Plato ini sering dianggap masih terlalu umum. Pengertian kebenaran atau kebijaksanaan di sini masih belum jelas. Pengertian kebijaksanaan atau wisdom perlu kita perjelas di sini.
Kata wisdom, yang kadang diterjemahkan sebagai kebijaksanaan dan kadang sebagai kebenaran, menurut Brand Blanshard dalam The Encyclopedia of Philosophy (vol. 8, hal 322-324) diartikan sebagai, “... a practical knowledge based on reflection and judgment concerned with the art of living.”
Wisdom sebagai pengetahuan praktis yang didasari oleh refleksi dan penilaian disertai dengan kepedulian terhadap seni kehidupan tampil pula dalam pemikiran para pemikir Timur seperti Sidharta Gautama dan sangat luas dan umum. Blanshard menilai banyak filsuf modern mengabaikan pencapaian kebijaksanaan dengan dua kemungkinan alasan: pertama karena merasa bahwa penilaian terhadap apa yang digolongkan sebagai kebijaksanaan lebih didasari oleh perasaan (feelings) dan keinginan/nafsu/gairah (desires atau passion) ketimbang pengetahuan. Kedua, penilaian itu didasari oleh intuisi yang sulit dipertahankan dengan argumentasi logis.
Namun, menurut Sanderson Beck penggunaan perasaan, gairah dan intuisi dalam proses memahami sesuatu bukanlah hal yang buruk. Perasaan, gairah, dan intuisi merupakan sesuatu yang manusiawi. Manusia diperkaya oleh kemampuan-kemampuan non-rasional itu untuk menjalani hidupnya. Justru manusia akan jadi timpang jika hanya menggunakan rasio saja. Intuisi, informasi-informasi yang diperoleh lewat perasaan dan gairah merupakan modal awal manusia untuk memahami lingkungannya. Rasio kemudian membantu memperjelas dan mempertajam pemahaman itu. Beck menunjukkan hal itu dengan percobaannya menemukan pengertian wisdom secara intuitif, kemudian mengkajinya secara rasional.
Beck berpendapat, “Wisdom is the knowledge of and action for the highest good of all concerned.” Bagi Beck, kebijaksanaan atau wisdom adalah pengetahuna tentang dan tindakan untuk mencapai kebaikan tertinggi dalam segala aspek. Ada dua kondisi yang niscaya (necessary conditions) yang harus ada dalam pengertian kebijaksanaan dan keduanya tak bisa berdiri sendiri:
1)      Pengetahuan tentang kebaikan tertinggi (knowledge of the highest good); dan
2)      Tindakan untuk mencapai kebaikan tertinggi (action for the highest good)
Mengetahui apa yang benar dan apa yang tidak benar saja bukanlah kebijaksanaan. Begitu pula mengerjakan sesuatu yang benar tanpa tahu bahwa itu benar. Untuk dapat menilai seseorang sebagai orang bijaksana, keduanya harus tampil sekaligus pada diri orang itu. Perolehan pengetahuna tentang kebaikan tertinggi dan tindakan untuk mencapainya melibatkan keseluruhan diri manusia, bukan hanya rasio. Keseluruhan sistem psikofisik manusia terlibat di sini. Perlibatan keseluruhan diri manusia inilah yang terlihat dalam pemikiran-pemikiran timur.
Seringkali dua kondisi niscaya yang terkandung dalam kebijaksanaan inilah yang kemungkinan luput dari pemahaman para pengikut pemikir Timur. Mereka mengamalkan saja ajaran-ajaran para pemikir Timur seperti Confucius dan Sidharta Gautama, dalam tindakan tanpa mengetahui secara mendasar kebaikan tertinggi, tidak akan mencapai mencapai kebijaksanaan. Pembahasan yang hanya membicarakan pengetahuan tertinggi tanpa menjalankannya dalam tindakan juga tidak akan membawa kepada kebijaksanaan. Untuk mencapai kebijaksanaan, mereka harus melibatkan keseluruhan dirinya. Pikiran dan perbuatan perlu terlibat secara intensif dalam pencapaian kebijaksanaan. Inilah filsafat dalam pengertian para pemikir Timur seperti Lao Tze, Confucius, Sidharta Gautama, para filsuf Hindu dan Islam.
Selain batasan yang dikemukakan Fung Yu Lan, kriteria-kriteria yang tercakup dalam pengertian filsafat sebagai upaya memahami segala sesuatu secara kritis, sistematis, dan radikal tetap perlu dipenuhi oleh pemikiran Timur agar pemikiran Timur terbuka pada pengembangan yang lebih luas lagi. Dengan begitu juga dapat dihindari terjadinya pembekuan pemikiran Timur menjadi ajaran dogmatis. Hanya batasan pengertiannya perlu diklarifikasi dan dilepaskan dari ‘wacana’ filsafat Barat. Di sisi lain pemikiran Timur sendiri perlu mawas diri dan membuka diri pada berbagai modifikasi. Pendapat Iqbal dapat dijadikan bahan instrospeksi diri bagi pemikiran Timur. Iqbal mengajak orang-orang Timur untuk menilai secara obyektif isi dari pemikiran Barat, menilai baik-buruk pemikiran itu berdasarkan kualitas isinya, bukan berdasarkan siapa yang menyampaikannya. Iqbal secara kritis menilai pemikiran Barat memiliki banyak keunggulan dan di sisi lain menentang pengagungan rasinalisme Barat dengan argumentasi-argumentasi tajam dan masuk akal. Apa yang dilakukan Iqbal perlu dilakukan oleh para pengembang pemikiran Timur.
Untuk mempertegas kehadirannya sebagai filsafat, belakangan pengkajian pemikiran Timur menyertakan juga pemenuhan kriteria-kriteria yang umumnya diterapkan pada filsafat. Yang pertama kali perlu dijadikan patokan adalah kriteria “filsafat sebagai usaha yang kritis”. Ini merupakan pengertian yang paling penting bagi berkembangnya pemikiran filsafat. Perkembangan pemikiran filsafat membutuhkan adanya dialog, diskusi, adu argumentasi, dan kesiapan membuka diri terhadap berbagai pemikiran. Untuk itu kemampuan berpikir kritis sangat dibutuhkan. Pemikiran Timur yang sudah ada merupakan bahan material yang perlu diolah sedemikian rupa secara kritis dan terbuka terhadap berbagai modifikasi. Pengolahan yang kritis dan sifat terbuka terhadap perbaikan akan memberi kualitas filosofis yang kental pada pemikiran Timur.
Pada prakteknya, kajian-kajian kritis terhadap pemikiran Timur sudah banyak dilakukan. Perbandingan-perbandingan pemikiran dari para pemikir Timur juga sudah banyak yang diperbandingkan. Sebagai contoh, perbandingan antara pemikiran Confucius dan Socrates yang dilakukan oleh Saderson Beck dalam karyanya Confucius and Socrates: The Teaching of Wisdom.
Kriteria sistematis bukan berarti filsafat Timur harus memiliki bagian-bagian seperti yang dimiliki filsafat Barat yang secara umum mencakup metafisika, epistemologi, dan axiologi. Pemenuhan kriteria antara satu sistem pemikiran dengan lainnya. Dalam pemikiran Cina misalnya, sistematikanya bisa berdasarkan pada konstruksi kronologis, mulai dari proses penciptaan alam hingga meninggalnya manusia yang dijalin secara runut. Yang penting ada alur yang runut dalam setiap sistem pemikiran, ada masalah yang jelas, ada proses pengolahan informasi sebagai upaya penyelesaian maslah, dan ada solusi bagi masalah itu.
Sifat radikal dalam arti mendalam sampai ke akar-akarnya pada filsafat Timur sudah tampak sejak para pemikir Timur mengemukakan buah pikirannya. Apa yang dilakukan Sidharta Gautama adalah sesuatu yang sangat radikal bagi masanya. Ia mencoba menggali hakikat hidup sampai sedalam-dalamnya. Ia bahkan mencabut akar-akar kehidupan yang lama di India waktu itu dan mengembangkan sistem pemikiran baru yang kini kita kenal dengan Budhisme. Sifat radikal dari pemikiran Timur mungkin tidak banyak ditampilkan oleh para pengikut pemikir-pemikir besar seperti Budha dan Confucius sehingga terkesan dogmatis dan tidak mendalam. Tetapi di akhir abad ke-20, pengkajian Budhisme dan Confucianisme sudah menampilkan sifat-sifat radikal. Budhisme dan Confucianisme siap untuk membedah dan dibedah habis-habisan, terbuka kepada berbagai kemungkinan modifikasi sampai ke akar-akarnya.
Pengertian ketiga kriteria yang diajukan di atas menjadi dasar kategorisasi terhadap pemikiran Timur. Pengertian-pengertian itu memungkinkan berbagai pemikiran lain di luar pemikiran filsafat Barat masuk dalam kategori filsafat. Dengan mendasarkan pada pengertian-pengertian itu, pemikiran Timur, seperti Hinduisme, Budhisme, Daoisme, Budhisme Chan, dan pemikiran Islam dapat disebut sebagai filsafat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar