1. Teori J. Fowler
Ada tujuh tahap
perkembangan iman menurut J. Fowler menurut usianya masing-masing.
Usia
0-3 tahun ialah tahap kepercayaan elementer awal. Kepercayaan pada tahap ini
belum terdiferensiasikan, Karena diposisi preverbal si bayi terhadap
lingkungannya belum dirasakan dan
disadari sebagai hal yang terpisah dan berbeda.
Usia
4-6 tahun disebut kepercayaan intiutif-proyektif. Pada tahap ini daya imajinasi
dan dunia gambaran sangat berkembang, walaupun si anak belum memiliki kemampuan
operasi logis yang mantap. Daya imajinasi dan gambaran-gambaran tersebut dapat
dirangsang oleh cerita, gerak, isyarat, upacara, simbol-simbol dan kata-kata. Kemampuan
untuk membedakan prespektif diri sendiri dan prespektif orang lain sangat
terbatas.
Usia
7-12 tahun, pada usia ini disebut kepercayaan mistik harafiah. Imajinasi dan
gambaran masih berpengaruh kuat, namun mulai muncul operasi-operasi logis yang
melampaui tingkat perasaan dan imajinasi sebelumnya. Mulai membedakan prespektif
diri sendiri dan prespektif orang lain, serta memperluas prespektifnya dengan
mengambil alih prespektif orang lain.
Usia
13-17 tahun disebut kepercayaan sintesis-konvensional. Pada tahap ini si anak
mulai berpikir abstrak. Remaja biasanya mengalami suatu perubahan radikal dalam
cara memberi arti. Remaja mulai mengambil alih pandangan pribadi orang lain
menurut pola pengambilan prespektif antar pribadi secara timbal balik. Remaja berjuang menciptakan suatu
sintesis dari berbagai keyakinan dan nilai religious yang dapat mendukung
proses pembentukan identitas diri.
Usia
18-29 tahun, tahap ini disebut tahap refleksi dan individu. Pada tahap ini
orang sudah mempunyai sistem dan konsep berpikir yang jelas dan mampu
mengontrolnya.
Usia
30-45 tahun, disebut kepercayaan konsilidasi dan paradok. Pada tahap ini semua
yang diupayakan di bawah kuasa kesadaran dan pengontrolan rasio pada tahap
sebelumnya ditinjau kembali, hal ini terjadi karena munculnya kesadaran akan
batas akal. Melihat hal-hal yang paradok
dan muncul macam-macam pandangan dalam hidupnya.
Usia
45 tahun ke atas, kepercayaan eksistensial yang mengacu pada universalitas.
Pada tahap ini orang hidup berdasarkan prinsip cinta dan kasih.
Inti
teori J. Fowler lengkap tersaji dalam tabel di bawah ini.
No
|
Usia
|
Tahap
|
Perilaku/uraian
|
1
|
0-3 tahun
|
Belum dapat membedakan
|
-
|
2
|
4-6 tahun
|
Proyeksi dan intuitif
|
-
Gabungan imajinasi pengalaman dan belief
-
Cerita-cerita dari orang tua, membentuk gambaran tentang Tuhan
(irasional)
|
3
|
7-12 tahun
|
Mistik harafiah
|
-
Cerita-cerita ajaib digunakan untuk menyampaikan makna spiritual (mulai
rasional)
-
Kisah-kisah agama ditafsirkan secara harafiah
-
Simbol-simbol mempunyai arti yang khusus
|
4
|
13-17 tahun
|
Tiruan dan konvensional (sudah mulai berpikir abstrak)
|
-
Imannya menyesuaikan diri dengan iman orang lain
-
Penyesuaian diri tersebut membentuk perilaku
-
Fokus masa ini adalah hubungan dengan orang lain
|
5
|
18-29 tahun
|
Refleksi dan individu
|
-
Kesadaran diri sudah cukup tinggi
-
Memiliki sistem dan konsep berpikir yang jelas
-
Memeriksa kembali imannya secara kritis
-
Iman ditata ulang lagi, sehingga hasilnya menjadi iman yang individu
|
6
|
30-45 tahun
|
Konsolidasi dan paradoks
|
-
Sadar akan batas akal
-
Ia melihat bahwa di dunia ini ada hal yang paradoks
-
Muncul macam-macam pandangan, sehingga ia berpikir “benar itu apa?” Benar
adalah dapat didapatkan dimana-mana. Orang yang benar/iman yang benar adalah
iman yang memiliki toleransi atau muncul pemahaman/membentuk pemahaman
keyakinannya yang baru
|
7
|
+ 45 tahun
|
Universal
|
Hidup
berdasarkan prinsip kasih dan keadilan
|
Teori
J. Fowler sangat penting dikuasai dan dimengerti oleh seorang pendeta dalam
pelayanannya. Seorang pendeta adalah guru dan pembimbing rohani bagi jemaat.
Dengan mengetahui dan menguasai teori Fowler, seorang pendeta dapat dengan
mudah melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelayan bagi pertumbuhan
iman jemaat. Pendeta juga dapat
mengetahui tingkat iman jemaatnya, kemudian mendorongnya agar iman tersebut
dapat berkembang dengann baik.
Usia
0-3 tahun, si anak diperkenalkan pada suasana kasih, dibawa dalam ibadah atau
persekutuan-persekutuan, dinina bobokan dengan lagu-lagu rohani. Hal ini
dimaksudkan agar si anak terbiasa berada dalam lingkungan gereja dan dalam
suasana rohani sejak dini.
Usia
4-6 tahun, pada usia ini si anak diberikan cerita-cerita teladan dalam Alkitab,
cerita-cerita yang menggugah hati dan merangsang pertumbuhan iman. Namun harus
diingat bahwa pada tahap ini si anak belum bisa membedakan prespektif dirinya
sendiri dan presfektif orang lain, jadi, cerita-cerita yang diberikan harus
sesuai dengan kebutuhan si anak. Sehingga imajinasi si anak benar-benar
mengarah pada kebenaran tentang Tuhan.
Usia
7-12 tahun, cerita-cerita Alkitab yang ajaib dapat mendorong perkembangan iman
si anak, dengan cerita-cerita tersebut si anak percaya adanya kuasa Tuhan.
Walaupun cerita-cerita tersebut masih ditafsirkan secara harafiah, namun metode
cerita ini sangat membantu si anak untuk mengenal kuasa Tuhan. Memperkenalkan simbol-simbol
dalam kekristenan, dan memberitahu arti yang sesungguhnya, agar si anak tidak
salah mengerti tentang simbol-simbol tersebut.
Usia
13-17 tahun, si anak mulai membanding-bandingkan imannya dengan iman orang
lain, dan berusaha menyesuaikan diri dengan iman orang lain. Penyesuaian tersebut
membentuk perilaku si anak. Dalam hal ini, seorang pendeta benar-benar harus
membimbing si anak, agar penyesuai imannya tidak keliru. Orang lain yang menjadi
objek perbandingan tersebut janganlah orang yang imannya tidak taat, agar
perilaku yang terbentuk pada si anak adalah perilaku yang baik, yang sesuai
dengan firman Tuhan. Perlu juga diperhatikan hubungan si anak dengan orang lain,
agar hubungan tersebut tidak membawa
dampak negative bagi perkembangan iman si anak.
Usia
18-29, pada masa ini disebut masa remaja
atau masa muda awal. Remaja sudah mempunyai kesadaran tinggi yang tinggi dan
memiliki koonsep berpikir yang jelas. Remaja berusaha mengkoreksi imannya dan
mentata ulang kembali. Tugas seorang
pendeta pada masa ini ialah mengawasi proses ini, memberi pengarahan, membantu
mengontrol imannya, sehingga si anak muda menjadi individu yang beriman teguh.
Usia
30-45 tahun, masa ini ialah masa dewasa.
Pada tahap ini orang menyadari akan batas akal. Muncul bermacam
pandangan-pandangan terhadap iman. Pendeta bertugas meluruskan
pandangan-pandangan tersebut, agar pandangan tersebut tidak menyimpang dari
Alkitab. Inti iman orang Kristen ditekankan dalam hidup orang tersebut, agar
pandangan-pandangan baru tidak menggoyahkan iman orang tersebut.
Usia
di atas 45 tahun, orang hidup berdasarkan prinsip kasih dan keadilan. Ini
merupakan buah iman orang yang bersangkutan. Pola hidup ini perlu ditekankan
dan dipertahankan dalam prinsip hidup. Pendeta bertugas menuntun orang tersebut
agar mau membagi imannya kepada orang lain, dengan mengajar dan membimbing
orang lain pula, sehingga buah iman orang tersebut benar-benar nampak dalam
hidupnya.
Semua
hal yang diuraikan diatas dapat terlaksana dengan baik, jika seorang pendeta mengetahui
dan menguasai teori J. Fowler, serta menerapkannya terlebih dahulu dalam
kehidupannnya, kemudian menerapkannya dalam pelayanannya.
2.
Teori
L. Kohlberg
Teori
L. Kohlberg tentang perkembangan moral.
Kemampuan penalaran moral merupakan kemampuan seseorang untuk memakai cara
tertentu yang dapat menerangkan pilihannya, mengapa melakukan sesuatu atau
tidak melakukan suatu, tingkah laku macam penalaran yang dipakai seorang anak
menunjukkan tingkat perkembangan moralnya. Alasan-alasannya mengambarkan meningkatnya
derajat motif yang tidak ditujukan kepada dirinya sendiri.[1]
Tahap
pra konvensional. Usia 0-9 tahun, pada tingkat ini suatu tindakan dilihat
sebagai baik atau buruk tergantung pada akibat fisik dari tindakan tersebut.
Tingah laku yang baik ialah tingkah laku yang menyenangkan orang lain. Tindakan
baik dan buruk sangat relatif, ditentukan oleh kegunaannya untuk memenuhi
kebutuhan orang lain.[2]
Tahap
konvensional. Usia 9-15 tahun, di sini
tingkah laku yang baik adalah yang
menyenangkan orang lain, membantu orang lain atau apa yamg mereka sepakati
bersama, serta yang sesuai dengan tugas dan kewajiban seseorang yang menaruh
hormat pada otoritas dan kewajiban sosial demi otoritas dan ketertiban itu
sendiri.[3]
Tahap
post konvensional. Usia 16 tahun ke atas. Di sini sudut pandang hukum amat
ditekankan, tetapi disertai kemungkinan perubahan hukum atas dasar pertimbangan
rasional tentang kegunaan bagi masyarakat. Serta yang benar dan yang baik
ditentukan oleh keputusan suara hati sesuai dengan kaidah-kaidah moral yang
dipilih secara pribadi sesuai dengan pemahaman logis, universal dan konsisten.[4]
Berikut
inti teori L. Kohlberg secara lengkap tersaji dalam table.
No
|
Usia
|
Tingkat
|
Perilaku
|
1
|
0-9 tahun
|
Pra-konvensional
a.
Ketaatan dan hukuman
b.
Relatif dan hedonis
|
-
Kalau perilaku salah, maka akan dihukum
-
Kalu baik/benar, maka tidak akan dihukum
-
Menyenangkan orang lain
-
Memenuhi kebutuhan orang lain
|
2
|
9-15 tahun
|
Konvensional
c.
Harmoni dan interpersonal
d.
Norma dan aturan masyarakat
|
-
Dapat penghargaan dan diterima oleh orang lain
-
Patuh dan taat terhadap aturan dan norma-norma masyarakat
|
3
|
16 tahun
ke atas
|
Post konvensional
e.
Kontrak sosial dan legalistik
|
-
Mengikuti aturan-aturan yang ada dengan tujuan menjaga hak orang lain dan
kesejahteraan orang lain
|
|
|
f.
Etis universal
|
-
Moral universal terwujud dalam tingkah laku
-
Menghargai orang lain
-
Relasi saling percaya
|
Teori
L. Kohlberg sangat bermanfat bagi pelayanan seorang pendeta. Dengan
memahami dan menguasai teori ini,
seorang pendeta mempunyai pedoman dalam mendidik jemaat agar bermoral baik. Bimbingan
dan didikan berbeda-beda sesuai dengan tingkat usia masing-masing.
Tahap
pra konvensional, usia 0-9 tahun. Si anak hanya mengetahuai hal yang baik dan
yang buruk melalui hasil dari tindakan tersebut, jika perbuatan baik, maka akan
menuai pujian dan jika perbuatan buruk,
maka akan menuai hukuman. Oleh sebab itu si anak akan selalu berusaha
menyenangkan orang lain. Dalam hal ini, dukungan pendeta kepada si anak sangat
penting dalam masa ini, agar si anak selalu berbuat baik. Memujinya jika ia
berbuat baik, dan menasehatinya, jika ia berbuat buruk. Nasehat yang dimaksud
ialah nasehat yang membangun ke arah perkembangan moral yang baik, tanpa harus
menghukumnya secara fisik. Contah yang baik perlu diperagakan seorang pendeta,
agar pola hidup bermoral baik dapat dengan mudah diserap oleh si anak.
Tahap
konvensional, usia 9-15 tahun. Pada tahap ini si anak dapat penghargaan dan
diterima oleh orang lain, patuh dan taat
aturan dan norma-norma dalam masyarakat. Pendeta hendaknya membimmbing dan menasehati si anak agar tidak terlena
terhadap penghargaan dan penerimaan
orang lain. Dan agar tetap taat
dan patuh terhadap peraturan yang ada dalam masyarakat, sebagai kewajiban
sebagai anggota masyarakat.
Tahap
post konvensional, usia 16 tahun ke atas. Perkembangan moral pada tahap ini
sangat bagus, dimana yang bersangkutan mengikuti peraturan yang ada demi
menjaga hak dan kesejahteraan orang lain. Moral yang universal terwujud dalam
tingkah laku, menghargai orang lain dan relasi saling percaya dengan orang lain. Pembinaaan dari seorang pendeta akan menguatkan moral yang sudah terbentuk ini, Oleh sebab
itu pendeta harus tetap memantau dan mengkoreksi moral orang pada tahap ini.
Agar moral tersebut mengakar dalam pola hidup orang yang bersangkutan.
3.
Teori
Albert Bandura ( Teori Belajar Sosial))
Menurut
Bandura, sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan
mengingat tingkah laku orang lain. Ada
dua jenis pembelajaran melalui pengamatan :
1. Pembelajaran
pengamatan melalui kondisi yang dialami
orang lain, yang mendapat penguatan, baik penguatan positif maupun penguatan negatif..
2. Pembelajaran
melalui pengamatan meniru perilaku
model, meskipun tidak mendapat penguatan positif ataupun negatif.
Empat
komponen dalam proses belajar melalui pengamatan :
1. Memperhatikan
Sebelum melakukan peniruan, orang menaruh perhatian
pada model yang akan ditiru. Keinginan
meniru karena model tersebut menunjukkkan
sifat dan kualitas yang hebat, anggun, berkuasa, berhasil, sukses dan lain sebagainya.
2. Mencamkan/mengingat
(Retention)
Setelah
mengamati model, si anak akan memperlihatkan
tingkah laku yang sama dengan model. Ada
sesuatu yang dicamkam, disimpan dan diingat dalam bentuk simbol-simbol ,
tidak hanya diperoleh melalui pengamatan
visual, tetapi juga melalui verbalisasi.
3. Memproduksi
Gerak Motorik (Reproduction)
Setelah
mempelajari suatu tingkah laku, subjek dapat menunjukkan kemampuannya atau
menghasilkan apa yang disimpan dalam
bentuk tingkah laku.
4. Ulangan
Penguatan dan Motivasi
Motivasi yang ada dalam diri seseorang menentukan
apakkah orang tersebut memproduksi atau memperlihatkan hasil pengamatan
terhadap suatu model dalam tingkah laku
yang nyata. Jika motivasinya kuat, maka ia akan melakukannya terus menerus,
jika ia tidak memproduksinya, maka lambat laun akan menghilang motivasinya.
Menurut
saya, apa yang dikemukakan Bandura memang benar adanya. Sebagian besar manusia
belajar karena meniru orang lain, melalui pengamatan, baik langsung maupun
tidak langsung. Seseorang memperhatikan gaya hidup seseorang yang menjadi
idolanya, kemudian mengingat dan menirunya. Diadopsi dan diaplikasikannya dalam
hidupnya. Jika peniruan tersebut membawa dampak positif, maka orang yang
bersangkutan akan terus-menerus melakukannya dalam hidupnya, jika tidak, maka
motivasi dalam dirinya akan berkurang, dan lambat laun peniruan tersebut akan
hilang. Namun tidak semua pembelajaran diperoleh dari pengamatan terhadap orang
lain, bisa juga melalui pengalaman hidup,
belajar secara otodidak melalui buku-buku.
Seorang
pendeta adalah idola jamaat, yang menjadi model dan contoh bagi para jemaat.
Pola hidup pendeta cenderung ditiru oleh sebagian jemaat. Oleh karena itu, seorang
pendeta hendaknnya menjadi model yang baik bagi para jemaat. Bertutur
kata yang baik, tingkah laku yang baik,
pola hidup yang teratur sesuai dengan firman Tuhan, disiplin,
berintegeritas yang tinggi, konsisten, pola hidup yang baik dan sebagainya.
Jika hal-hal yang baik tersebut telah terpenuhi, maka pendeta yang bersangkutan
siap menjadi model bagi jemaat. Selain menjadi model, pendeta juga bertugas mengkoreksi para jemaat yang
meniru gaya hidup orang yang diidolannya, baik para artis ataupun orang-orang
disekitarnya, agar peniruan tersebut tidak membawa dampak buruk bagi si peniru. Jadi, peran pendeta sangat
penting dalam teori belajar sosial, terutama yang berkaitan dengan pemodelan.
Sumber
SSC,
Sr. Joyce Ridick. (1987). KAUL Harta Melimpah dalam Bejana Tanah Liat. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.
Gunarsa,
Singggih D. dan Gunarsa, Ny. Y Singgih D. (1991) Psikologis Praktis Anak Remaja
dan Keluarga. Jakarta . BPK Gunung Mulia.
Mata
kuliah Tulus Tu’u (Psikokogi Perkembangan)
Makalah
kelompok 5 (teori J Fowler)
Makalah
kelompok 4 (teori L. Kohlberg )
om. kalau boleh saya meminta pdf james fowler. saat ini saya sedang mengerjakan tugas laporan penelitian. terimakasih
BalasHapus