BEBERAPA KEBIJAKSANAAN DARI
TIMUR
MENURUT HINDUISME
Pengantar
Hindu berasal dari
India, tepatnya di bagian utara Anak Benua india. Permulaan munculnya sekitar
tahun 2000 SM. Pada masa itu berlangsungnya perpaduan kebudayaan bangsa Aria
yang berbahasa Indo-Eropa dengan kebudayaan penduduk asli yang diperkirakan
berbicara dalam bahasa induk bahasa-bahasa Dravida. Hasil perpaduan dua budaya
ini adalah tradisi lisan yang disebut Veda (dalam bahasa Indonesia biasa dibaca
‘Weda’).
Veda dinyanyikan,
diucapkan, dan kemudian ditulis. Veda dirujuk sebagai sruti atau ‘yang
didengarkan”. Dalam kepercayaan Hindu, Veda diyakini sebagai wahyu kosmik,
dalam arti wahyu yang diperoleh manusia dari hasil kontemplasi menghayati alam
semesta. Wahyu kosmik tampil dalam seluruh tatanan semesta dan dunia alami yang
diciptakan oleh Sang Maha Pencipta Yang
Esa. Wahyu ini semacam ayat-ayat Tuhan yang tidak diucapkan tetapi menampilkan
diri dalam semua ciptaanNya (Teadate dalam Ruslani, 2000). Namun, jika
dicermati, dalam kebudayaan Hindu. Veda juga memiliki akar-akar
non-kontemplatif. Ada pengaruh budaya dan sejarah dalam isi Veda. Dengan kata
lain, ada juga unsur-unsur non-alamiah dalam Veda. Dalam Veda terkandung juga
kenangan tradisi yang ditulis berdasarkan ingatan para guru atau tetua adat
dalam budaya Hindu.
Bahasa Verdik yang
digunakan dalam tradisi Hindu merupakan induk dari bahasa Sansekerta. Hasil
tradisi lisan ini kemudian menjadi tertulis yang kumpulannya sekarang dikenal
sebagai Kitab Veda. Tetapi ketika itu belum dapat dikatakan memuat ajaran agama
yang didasarkan pada kepercayaan saja. Keseluruhan alam pikiran dalam Kitab
Veda yang terdiri dari filsafat dan agama itu, untuk mudahnya disebut vedisme
(Poedjawijatna, 1986). Kitab-kitab Veda berasal dari masa 3000SM yang kemudian
juga dilengkapi dengan kitab-kitab lain seperti Upanishad dan Bhagavad Gita.
Semua isi Veda
bersangkutan dengan upacara agama, terutama korban. Dalam Vedisme korban sangat penting. Ada korban bagi perorangan dan ada
korban umum dari seluruh masyarakat. Ada upacara korban umum yang resmi yang
menggunakan ‘petugas’ khusus dalam pelaksanaannya. Jabatan bagi pengurus korban
resmi ini biasanya dilakukan secara besar-besaran dengan menyediakan korban
sebanyak-banyaknya. Mulai dari menyiapkan persediaan korban sudah ada
aturannya. Korban bisa berupa binatang ternak, padi, mentega, minuman, dan
bahan makanan lainnya. Yang terpenting, di antara korban itu adalah soma,
berupa minuman keras (Chowdhury dalam Radhakhrisnan (ed.), 1957). Penyediaan
soma ini juga dilakukan mengikuti aturan tertentu selaras dengan kepentingan
persembahannya. Dalam upacara korban, soma ini dinyanyikan pujian-pujian
(saman) oleh penyanyi resmi (utgutar). Upacara para korban harus secara tepat
mengikuti aturan yang sudah ditentukan. Jika ada sedikit saja aturan yang
terlewat, maka persembahan korban itu dianggap tidak sah (Poedjawijatna, 1986).
Untuk menjaga
keabsahan upacara korban, harus ada seorang ahli korban yang berperan sebagai
pengorban. Ialah yang dapat menentukan baik tidaknya dan sah tidaknya korban
itu. Korban disebut brahma dan ahli
korban disebut brahmana. Ada
kemungkinan istilah brahma pada awalnya berarti ‘doa’ atau ‘ucapan’ dari asal
kata brh yang berarti meletupkan, atau mengungkapkan atau mengembangkan (Raja
dalam Radhakrishnan (ed.), 1957). Kata itu digunakan dalam upacara korban arti
katanya lalu berubah menjadi korban.
Sehubungan dengan
upacara-upacara perngorbanan ini, Veda digolongkan menjadi 4 golongan:
1.
Rig Veda, merupakan Veda tertua,
berisi pujian.
2.
Sama-Veda, berisi
nyanyian-nyanyian yang dinyanyikan utgatar waktu orang menyediakan minuman
untuk upacara korban yang amat penting.
3.
Yajur-Veda, berisi mantra-mantra
dalam bentuk prosa, biasa dipergunakan dalam pengorbanan yang sebenarnya.
4.
Atharwa-Veda, berisi uraian dan
doa-doa yang harus dikenal para bhramana.
Menurut Veda, korban
dipersembahkan bagi dewa. Banyak dewa yang disebut dalam Veda, tetapi yang
utama hanya beberapa saja. Yang paling berkuasa adalah Indra, Dewa Guntur dan
Perang. Bangsa Arya sebagai bangsa yang senang perang, sangat sering melakukan
persembahan korban kepada Dewa Indra. Selain itu Dewa Vishnu (Penyelenggara
alam semesta), Agni (Dewa Api), Surya (Dewa Matahari), Vayu (Dewa Angin), dan
Rudra (Dewa Perusak) merupakan dewa utama yang sering dituju oleh persembahan
korban. Dewa-dewa tersebut merupakan wakil dari kekuatan alam. Nama dewa-dewa
itu dalam bahasa Sansekerta memiliki arti dari kekuatan alam-alam yang
diwakilinya.
Selain pengertian
tentang korban dan dewa dikenal pula istilah rita yang merujuk pada
hukum dan aturan yang mengatur alam dan isinya. Rita juga mencakup hukum yang mengatur hubungan antara suami-istri,
anak-orangtua, pembesar dan bawahan, dan sebagainya. Rita bukanlah dewa. Ia
meliputi segala-galanya, baik dewa maupun isi dunia lainnya. Rita tak
berkehendak dan tak berbudi yang merupakan aturan dan hukum yang tak boleh
diabaikan atau dilanggar. Rita adalah Tuhan sebagai harmoni abadi, suara
primordial, getaran, atau frekuensi kehidupan subtil Tuhan di balik wilayah
kesadaran biasa, tetapi dapat dicapai melalui kontemplasi (teasdate dalam
Ruslani, 2000).
Kesadaran akan rita
ini bagi orang Hindu merupakan pangkalan pikiran yang amat dalam. Kesadaran ini
memunculkan pertanyaan: “Kalau sesungguhnya rita itu meliputi dewa, dunia dan isinya,
maka apa beda dewa dan manusia?” Pertanyaan ini menjadi salah satu pemicu
pemikiran filosofis dalam kebudayaan hindu. “Pada intinya tidak terlalu beda
antara dewa dan manusia.” Pemikiran ini muncul sebagai jawabannya. Dewa-dewa
itu seperti manusia juga, namun dunianya lebih makmur. Sifat mereka agak
melebihi manusia, tidak menjadi tua, tidak mati, namun mungkin sedih hati,
bingung, cemburu, sombong, bisa tidak baik hati, dan sebagainya.
Pengertian tentang
rita dan implikasinya terhadap kesamaan antara dewa dan manusia, lambat laun
mengarahkan perhatian para ahli pikir vedisme kepada manusia. Menurut mereka,
jika orang sungguh-sungguh dapat memahami manusia sedalam-dalamnya ada
kemungkinan dapat memahami alam seluruhnya. Sejarah pemikiran Hindu selanjutnya
menunjukkan manusia sebagai perhatian utama dalam pemikiran filosofisnya.
Di dalam masyarakat
Hindu, berkembang sistem kasta (golongan) yang menentukan tingkatan status
sosial manusia dalam masyarakat. Tingkatan kasta itu adalah: 1) brahmana, 2)
Ksatria (bangsawan, raja dan keturunannya), 3) vaisya, dan 4) sudra. Brahmana
merupakan kasta yang tertinggi karena ialah penentu sah tidaknya suatu upacara
korban. Sementara sah tidaknya korban, menentukan apakah keinginan atau
permintaan si Pengorban diterima atau tidak. Menurut tradisi vedisme, upacara
korban merupakan kegiatan terpenting yang menentukan kesejahteraan dan
keselamatan hidup manusia.
Kaum Brahmana
memiliki tugas untuk memahami dan menerangkan Veda kepada kasta yang lain.
Untuk dapat menjalankan tugasnya, mereka menjalankan pendidikan brahmana, yang
disebut asrama, mulai dari masa remaja hingga masa dewasa akhir. Pendidikan
yang mereka jalani meliputi kehidupan praktis sehari-hari sampai merenung dan
berpikir mendalam melalui kegiatan bertapa. Seorang brahmana yang matang harus
mampu meninggalkan segala sesuatu yang dimilikinya dan kehidupan duniawi.
Pada perkembangan
selanjutnya, kaum brahmana inilah yang
mengembangkan pemikiran Hindu yang kemudian menjadi filsafat Hindu atau yang
juga disebut brahmanisme (Poedjawijatna, 1986). Para brahmana inilah yang pada
awalnya merupakan filsuf-filsuf Hindu. Warisan tertulis dari para brahmana ini
berupa penjelasan-penjelasan tentang korban dan arti korban (Kitab Brahmana),
renungan-renungan dan keterangannya dalam bentuk kiasan (Kitab Arnyaka), serta
kitab Upanishad berupa renungan filosofis yang berpengaruh besar terhadap alam
pemikiran Hindu (Raja dalam Radhakrishnan (ed.), 1957).
Dalam Hinduisme,
ajaran agama dan filsafat saling melengkapi dan saling menjelaskan. Para
brahmana melakukan perenungan filosofis dalam rangka memperkaya pemahaman
tentang manusia, alam semesta, dan Tuhan Yang Maha Kuasa. Para brahmana yang
melakukan perenungan filosofis ini dikenal pula dengan sebutan filsuf Hindu.
Perenungan para filsuf Hindu ini sudah dilakukan sejak lama dan hasil
perenungannya banyak mempengaruhi perkembangan ajaran agama hindu. Dalam
buku-buku tentang Hindu, ditunjukkan betapa agama dan filsafat memiliki
keterkaitan yang erat. Dengan adanya filsafat dalam Hinduisme, ajaran agama
Hindu menjadi dinamis dan banyak mengalami penambahan yang memperutuh pemahaman
manusia tentang kehidupan manusia di alam semesta.
Kebijaksanaan Hinduisme dalam Brahman
(Perkembangan Pengertian tentang Yang Maha Kuasa)
Para filsuf Hindu
dalam perenungannya tentang manusia, alam, dan dewa-dewi menemukan hal-hal yang
tidak memuaskan dalam penjelasan-penjelasan awal vedisme. Misalnya dalam
upacara korban: orang yang berkorban bagi dewa-dewi dapat memaksakan
keinginannya supaya terkabul. Dari sini muncul pertanyaan: Siapakah yang
berkuasa, manusia atau dewa? Di sini terkesan manusialah yang berkuasa atas
dewa karena dapat memaksakan keinginannya untuk dikabulkan dewa. Namun manusia
tak bisa berbuat apa-apa tanpa upacara korban. Lebih khusus lagi, manusia tak
dapat berbuat apa-apa tanpa korban. Jadi, korbanlah (brahma) yang berkuasa.
Pemikiran tentang
siapa yang berkuasa lalu dikaitkan dengan rita yang merupakan aturan dan hukum
yang mengatur segala sesuatunya. Menurut mereka, dalam alam semesta hanya ada
satu kekuasaan yang mengatur segala-galanya. Kekuasaan ini boleh dianggap
sebagai pusat alam semesta. Jika sekiranya pusat alam semesta itu harus diberi
nama, maka nama yang tepat adalah brahma. Sebab dalam renungan mereka dan dalam
perasaan kebanyakan orang Hindu pada masa itu, yang berkuasa – bahkan yang
terkuasa – dalam acara pengorbanan adalah korban atau brahma. Dari pemikiran
inilah lalu kata brahma yang awalnya berarti korban kemudian merujuk ke
pengertian Yang Maha Kuasa. Dengan perkataan lain bisa juga diartikan sebagai
yang menguasai segala sesuatunya, pusat dunia, dan bahkan pusat alam semesta
(Raja dalam Radhakrishnan (ed.), 1957). Pada perkembangan selanjutnya, istilah
yang lebih umum digunakan untuk merujuk Yang Maha Kuasa adalah Brahman agar
dapat dibedakan dengan Dewa Brahma dan brahman dalam arti korban. Brahman
adalah roh yang paling tinggi, di luar jangkauan manusia, tidak terbatas oleh
waktu dan ruang. Brahman dapat dijumpai di seluruh alam semesta. Dia di atas
segalanya. Dia adalah asal dari segala ciptaan (hakikat rahasia, hakikat
sukacita, dan sang sejati).
Brahman adalah
seluruh dunia yang mengelilingi kita, namun dia adalah dunia yang juga berada
di dalam diri kita. Dunia yang ada di dalam diri kita disebut atman (jiwa).
Baik Brahman maupun atman adalah satu, meskipun manusia tidak selalu
menyadarinya.
Brahman ini
menggunakan banyak wujud yang dapat dilihat. Bagi orang Hindu, Allah adalah
asal dari segala ilmu pengetahuan dan segala sesuatu yang dapat dikenali
melalui tanda-tandaNya. Allah adalah segala kebenaran, Segala Ilmu Pengetahuan,
Segala Kegembiraan, Tidak berwujud, Yang Mahakuasa, Yang Adil, Yang Murah Hati,
Yang Tidak Diperanakkan, Yang Tidak terbatas, Yang tidak dapat berubah, yang
tidak berawal, Yang tidak ada yang menyamai, Yang menanggung segala sesuatu dan
Tuhan dari segala sesuatu, yang mahatahu, yang kekal, yang hidup selamanya,
yang bebas dari rasa takut, yang abadi, yang kudus, asal alam semesta. Hanya
kepadaNyalah kita menyembah.
Di antara
potensi-potensi atau daya-daya kekuatan, daya-daya kekuasaan yang terdapat di
mana-mana, Brahman mengambil tempat yang penting sekali. Agak sukar untuk
mendefinisikan mengenai Brahman. Brahman menyatakan kata, syair-syair,
mantra-mantra dari Weda. Brahman menyatakan diri dalam upacara (ritus) dan yang
dimiliki oleh mereka yang mengerti Weda dan berhak mengerjakan ritus. Brahman
adalah pandita (brahmana) dan seluruh golongan pandita. Mantra-mantra yang
diucapkan oleh para pandita pada persembahan-persembahan adalah Brahman, suatu potensi
yang memberi berkat, sehingga seorang pujangga itu pula dapat membinasakan
daya-daya kekuatan jahat. Para pandita dapat juga mengisi,
mempersegar, memperkuat dewa-dewa dengan Brahman. Dewa lainnya menggunakan
Brahman untuk membelah dewa jahat. Bagi para dewa pun Brahman menjadi suatu
‘barang ajaib yang tidak dapat dikenal.’ Daya tumbuh yang ajaib dan
daya tenaga yang menyebabkan matahari
terbit adalah Brahman. Brahman yang meletakkan
bumi dan membentangkan langit di atasnya, seperti lapisan udara (atmosfer)
meluaslah ia mendatar dan meninggi.
Pada satu pihak,
Brahman itu dilukiskan sebagai benda, di pihak lain sebagai sesuatu yang rohani
atau sebagai suatu pengertian yang abstrak.
Tetapi ia pun menyerupai kepribadian, sebab ia berpikir dan berkata-kata
dengan para dewa. Adakalanya Brahman dipersamakan dengan tata-tertib dunia
dunia, ‘rta’ (rita), ‘serta’ yakni yang ada kenyataan, yang sejati. Terkadang
dipersamakan juga dengan matahari atau angin.
Dalam Upanishad,
Brahman merupakan kata kunci yang paling penting. Itulah sebabnya kitab-kitab
Upanishad sering juga disebut sebagai Brahmanisme (ajaran mengenai Brahman)
atau Brahma-vidya (pengetahuan tentang Brahman) dan uraian tentang ajaran pokok
Upanishad disebut juga Brahma Sutras (ulasan tentang Brahman). Brahman dalam
sering dikemukakan dalam dua macam bentuk antagonis: yang berbentuk dan yang
tidak berbentuk, yang dapat mati dan yang tak dapat mati, berkaitan dengan
dunia yang “fenomenal” dan yang “noumenal”. Namun dengan mengutip Chandogya
Upanishad, Hume, menyatakan bahwa Brahman yang tak berbentuk, yang imortal, ternyata lebih berarti, lebih
penting, sehingga atas dasar ini, yang dianggap sebagai kesatuan tanpa
diferesiasi, keragaman dunia inderawi dinyatakan sebagai khayal. Brahman
yang mahatinggi ini, yang mengatasi apa yang fenomenal, kesatuan yang murni
disebut dalam berbagai kutipan yang kesemuanya dapat dirumuskan dalam ungkapan
negatif “bukan ini, bukan itu!” (neti neti; BAU 2.3.6.; 3.9.26;4.2.4).
Dalam Hinduisme,
Allah bukan laki-laki atau perempuan, tetapi karena Brahman melingkupi segala
mahkluk, Ia bisa berwujud laki-laki, perempuan dan bahkan binatang. Dia
dipercaya sebagai Sang Hyang Widhi (pencipta, pemelihara, dan pelebur alam
semesta dengan segala isinya). Tuhan adalah sumber awal, dan akhir, serta
pertengahan dari segala yang ada.
Di Barat tradisi
Semit mengajarkan Tuhan atau Allah sebagai yang esa dan berpribadi. Dalam
Upanishad segalanya sangat berlainan, sebab Brahman merupakan istilah yang
elusip, tak mudah dipahami. Dia dapat diartikan baik sebagai Tuhan yang
berpribadi mau pun Absolut impersonal. Istilah Brahman tak ada padanannya dalam
bahasa Barat.
Hubungan Atman dan Brahman
Atman adalah percikan
kecil dari Brahman (Paramatman).
Atman dalam badan manusia disebut jiwatman,
yang menyebabkan manusia itu hidup. Atman dipercaya merupakan bagian dari Tuhan,
bagaikan titik embun yang berasal dari air laut yang menguap karena pengaruh
suhu tertentu. Atman mempunyai beberapa sifat, yaitu: Achodya (tidak terlukai
oleh senjata), Adahya (tidak terbakar oleh api), Akledya (tidak terkeringkan
oleh angin), Acesyah (tidak terbasahkan oleh air), Nitya (abadi), Sarwagatah
(di mana-mana ada), Sthanu (tidak berpindah-pindah), Acala (tidak bergerak),
Sanatama (selalu sama), Awyakta (tidak dilahirkan), Achintya (tidak
terpikirkan), Awikara (tidak berubah dan sempurna), dan tidak berkelamin (bukan
laki-laki dan perempuan).
Sering dikatakan
bahwa ajaran pokok dari kitab-kitab Upanishad adalah persekutuan antara Atman
dan Brahman. Tetapi pernyataan yang sederhana semacam ini tanpa penjelasan
lebih lanjut malahan dapat membingungkan, sebab Atman dapat pula menunjuk pada
Brahman. Jika demikian identitas atau persekutuan Atman dan Brahman tidak
menjelaskan apa-apa.
Banyak ahli telah
mencoba menjelaskan hubungan antara Atman dan Brahman. Di bawah ini beberapa
pandangan yang bisa kita perhatikan:
a)
Atman dan Brahman merupakan dua
aspek berbeda dari satu kenyataan yang sama. Atman diterangkan sebagai aspek
subyektif dari seluruh kenyataan, yang mengantar seluruh kenyataan menuju
kedalaman dirinya, sedang Brahman lebih menunjuk aspek obyektif atau keluasan
dirinya.
b)
Atman merupakan inti atau hakekat
yang tinggal dalam lubuk kenyataan, sedang Brahman merupakan daya magis yang
menyangga seluruh kenyataan ini dari luar. Dengan demikian keduanya merupakan
unsur pembentuk yang saling melengkapi dari kenyataan yang satu dan sama
c)
Keduanya juga bisa dianggap saling
melengkapi dalam arti bahwa Brahman merupakan kenyataan yang tak terketahui
yang memerlukan penjelasan, sementara Atman adalah yang terketahui, lewat mana
Brahman memperoleh penjelasannya atau maknanya.
d)
Brahman merupakan prinsip pertama
sejauh kita bicara mengenai alam semesta, sedang Atman merupakan jatidiri
manusia yang terdalam. Maka Brahman bisa dianggap sebagai prinsip kosmis dari
seluruh alam raya, Atman sebagai prinsip psikis.
e)
Atau Brahman merupakan akhir yang
telak dari pencarian secara obyektif, sedang Atman merupakan akhir yang telak
dari pencarian secara introspektif.
Kebijaksanaan Hinduisme dalam Dharma dan Kehidupan Moral
Kata dharma berasal
dari akar kata dhr, yang berarti
“memegang, bertahan, memasang, mendukung, membuat kencang”. Prof. Zaehner
membandingkannya dengan kata Latin, firmus darimana dibentuk kata forma. Dharma
dalam pemahaman ini adalah sesuatu yang memberi bentuk, yang membuatnya tetap
dan tidak berubah. Menuruh M. Dhavamony, bersama kata dhaman – dhaman sendiri
dari akar kata dha yang berarti “menaruh, menetapkan” – dharma boleh diartikan
sebagai sesuatu yang “menetapkan sebagai miliknya”, “yang menguasai atau
menjalankan”; bisa dibandingkan dengan kata Yunani thronos yang berarti
“kedudukan, pemerintahan”.
Sebetulnya kata
dharma sudah digunakan juga baik dalam Veda maupun Brahman, tetapi sangat
terbatas. Dalam Rig-Veda, dharma ditunjukkan sebagai aturan berkenaan dengan
upacara korban, misalnya cara menyalakan api sesuai dengan kebiasaan lama atau
aturan yang harus ditaati agar pemujaan kepada dewa dilakukan dengan benar,
sedang dalam kitab-kitab Brahmana dharma praktis menduduki fungsi “kewajiban”
berkaitan dengan upacara korban.
Chandogya Upanishad
rupanya merumuskan seluruh pengartian dharma dalam ajaran Veda sebagai berikut:
“Ada
tiga macam pokok (dharma). Yang pertama adalah korban, pelajaran Veda dan
pemberian dana. Yang kedua adalah tapa. Yang ketiga adalah tinggal sebagai
murid untuk pengetahuan suci di rumah seorang guru dan berlaku dengan sangat
rendah hati di rumahnya. Semuanya ini mendatangkan dunia yang disediakan bagi
orang-orang utama (sebagai upah mereka). Dia yang tetap teguh dalam Brahman
mencapai imortalitas.”
Memang dalam
Upanishad pengertian dharma secara moral belum terlalu nampak. Akan tetapi
petunjuk-petunjuk awal sudah bisa dilihat misalnya dalam teks Katha Upanishad:
“Bukan orang yang tak
hentinya berbuat kesalahan, bukan pula yang tak kenal damai dan yang tak bisa
memusatkan diri, bukan pula orang yang pikirannya dipenuhi dengan kegelisahan,
yang dapat meresapkan dia (tuhan), biar pun dia bijak maupun pandai.”
Orang-orang yang tak
pernah bersih akan selalu menjadi korban reinkarnasi dan gagal mencapai tujuan
akhir:
“Orang yang tak tahu membeda-bedakan,
tak punya pikiran, tak pernah bersih, dia tak mencapai keadaan (mulia) itu,
kembali ke perputaran kelahiran dan kematian yang tak pernah ada akhirnya ini.”
Di sini Tuhan
dipikirkan sebagai yang murni, yang bebas dari kejahatan dan dharma digunakan
sebagai ciri dan hakekat dari Tuhan. Sementara dalam fase sebelumnya tuntutan
lebih diletakkan pada aturan ritual, untuk memberikan persembahan pada upacara
korban, sekarang Upanishad memandang tuntutan religius terletak pada tapa,
matiraga, kemurahan dan kelurusan hati, dharma, tidak membuat cedera dan
menjalankan kebenaran. Dalam semua sifat ini, manusia mengambil Tuhan sebagai
modelnya.
Dengan demikian
dharma yang semula berkaitan dengan upacara korban itu selanjutnya berkembang.
Dharma bisa diartikan sebagai hukum yang mengatur kelangsungan alam semesta
maupun kehidupan manusia. Dalam arti pertama, para dewa pun terkena dharma,
sebab mereka termasuk dalam kehidupan kosmis. Tradisi beranggapan bahwa
kehidupan para dewa pada hakekatnya berupa permainan, namun mereka tidak
sewenang-wenang dalam bermain, sebab dharma merupakan peraturan permainan yang
mengikat atau yang harus ditaati. Pada manusia dharma menjadi kewajiban moral
yang harus ditaati.
Moksa atau Pembebasan
Menurut Hindu,
keselamatan adalah pencapaian oleh pemikiran filosofis pada perkataan bijaksana
dan melalui meditasi, kelepasan dan kebebasan dari roda kehidupan (moksa). Hal
ini datang ketika individu mendapati jiwanya (atman) yang identik dengan jiwa
universal (brahman). Barangsiapa yang ingin mendapat keselamatan atau
kelepasan, ia harus menghapuskan segala keinginannya. Caranya dengan mengenal
akan dirinya sendiri. Jika orang mengenal akan dirinya sendiri, maka ia akan
bebas dari kematian. Kelepasan ini dapat dicapai dengan melepaskan diri dari
segala kekuasaan karma dan melpaskan diri dari segala macam perbuatan.
Dari gambaran ini,
nampaklah bahwa yang dicari orang-orang Hindu bukanlah kehidupan abadi, dalam
arti kelanjuta atau sekedar perpanjangan hidup duniawi, sebab jiwa sudah dengan
sendirinya bersifat abadi, sehingga mau tak mau hidupnya akan selalu
diperpanjang dalam bentuk lain. Yang mereka cari justru pemutusan dari
perpanjangan waktu yang terus menerus ini, atau pembebasan dari dunia yang
mengalir ini, sehingga ia bisa lepas dari reinkarnasi yang berulang-ulang.
Itulah yang disebut moksha atau mukti.
Seperti sudah disebut
di atas, kehidupan orang-orang pada masa itu sangat dicemaskan menyangkut
keselamatannya sesudah kematian. Ajaran perpindahan jiwa dengan demikian mengandaikan
bahwa jiwa bersifat kekal, tak dapat mati dan karenanya kematian badan hanya
akan memaksa jiwa untuk bebas, kalau ia sudah mencapai moksha atau kembali ke
dunia dengan badan lain apabila masih harus memenuhi karmanya.
Dalam kitab Brahmana,
sebetulnya ada dinyatakan bahwa upacara korban yang dilakukan seseorang dapat
menghapus tindakan keliru dari nenek-moyangnya. Menurut Biardeau, upacara
korban dalam masa ini dapat mencapai tiga macam maksud. Dalam hal yang pertama,
korban ditempatkan dalam konteks kosmogoni, untuk memenuhi maksud pembaharuan
kosmis. Dalam hal yang kedua, korban ditempatkan dalam konteks hubungan
sosio-kosmis, untuk menjalin hubungan baik dengan para dewa, nenk-moyang dan
roh-roh yang tidak kelihatan. Dalam hal yang ketiga, korban ditempatkan dalam
upaya untuk mengutarakan kebutuhan-kebutuhan pribadi.
Dalam arti yang kedua
itulah anak lelaki sangat diperlukan karena mempunyai peran untuk melanjutkan
upaya pembebasan dari karma. Dari sini nampak adanya pengandaian bahwa jiwa
bersifat kekal dan memerlukan pembebasan dan reinkarnasi. Akan tetapi dalam
Upanishad, jiwa lebih dipandang dalam individualitasnya daripada dalam
ikatannya dengan keluarga yang masih hidup. Dalam pengertian ini, korban
menjadi berkurang kepentingannya karena setiap orang bertanggung jawab terhadap
jiwanya sendiri dan tak perlu menggantungkan diri kepada anak lelakinya.
Dalam
brhadaranyaka-Upanishad, mukti diutarakan sebagai pembebasan empat macam, yang
secara ritual diwujudkan oleh hotr, adhvaryu, udgatr, dan brahman yang
bertugas. Tetapi pembebasan di sini hanya menyangkut ikatan-ikatan
psikosomatis. Selanjutnya dikatakan:
“Ketika semua hasrat
yang membungkus hati melepaskan diri (mukti), barulah orang yang dapat mati itu
menjadi imortal: ia mencapai Brahman.”
Di sini pembebasan
dikatakan sebagai “mencapai Brahman”, hal ini masih akan kita jelaskan lebih
lanjut dalam pokok-pokok berikut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar