Senin, 10 September 2012

Filsafat Timur,,Kebijakan dari Timur Menurut Hinduisme


BEBERAPA KEBIJAKSANAAN  DARI TIMUR
MENURUT HINDUISME

Pengantar
Hindu berasal dari India, tepatnya di bagian utara Anak Benua india. Permulaan munculnya sekitar tahun 2000 SM. Pada masa itu berlangsungnya perpaduan kebudayaan bangsa Aria yang berbahasa Indo-Eropa dengan kebudayaan penduduk asli yang diperkirakan berbicara dalam bahasa induk bahasa-bahasa Dravida. Hasil perpaduan dua budaya ini adalah tradisi lisan yang disebut Veda (dalam bahasa Indonesia biasa dibaca ‘Weda’).
Veda dinyanyikan, diucapkan, dan kemudian ditulis. Veda dirujuk sebagai sruti atau ‘yang didengarkan”. Dalam kepercayaan Hindu, Veda diyakini sebagai wahyu kosmik, dalam arti wahyu yang diperoleh manusia dari hasil kontemplasi menghayati alam semesta. Wahyu kosmik tampil dalam seluruh tatanan semesta dan dunia alami yang diciptakan oleh Sang Maha Pencipta  Yang Esa. Wahyu ini semacam ayat-ayat Tuhan yang tidak diucapkan tetapi menampilkan diri dalam semua ciptaanNya (Teadate dalam Ruslani, 2000). Namun, jika dicermati, dalam kebudayaan Hindu. Veda juga memiliki akar-akar non-kontemplatif. Ada pengaruh budaya dan sejarah dalam isi Veda. Dengan kata lain, ada juga unsur-unsur non-alamiah dalam Veda. Dalam Veda terkandung juga kenangan tradisi yang ditulis berdasarkan ingatan para guru atau tetua adat dalam budaya Hindu.
Bahasa Verdik yang digunakan dalam tradisi Hindu merupakan induk dari bahasa Sansekerta. Hasil tradisi lisan ini kemudian menjadi tertulis yang kumpulannya sekarang dikenal sebagai Kitab Veda. Tetapi ketika itu belum dapat dikatakan memuat ajaran agama yang didasarkan pada kepercayaan saja. Keseluruhan alam pikiran dalam Kitab Veda yang terdiri dari filsafat dan agama itu, untuk mudahnya disebut vedisme (Poedjawijatna, 1986). Kitab-kitab Veda berasal dari masa 3000SM yang kemudian juga dilengkapi dengan kitab-kitab lain seperti Upanishad dan Bhagavad Gita.
Semua isi Veda bersangkutan dengan upacara agama, terutama korban. Dalam Vedisme korban sangat penting. Ada korban bagi perorangan dan ada korban umum dari seluruh masyarakat. Ada upacara korban umum yang resmi yang menggunakan ‘petugas’ khusus dalam pelaksanaannya. Jabatan bagi pengurus korban resmi ini biasanya dilakukan secara besar-besaran dengan menyediakan korban sebanyak-banyaknya. Mulai dari menyiapkan persediaan korban sudah ada aturannya. Korban bisa berupa binatang ternak, padi, mentega, minuman, dan bahan makanan lainnya. Yang terpenting, di antara korban itu adalah soma, berupa minuman keras (Chowdhury dalam Radhakhrisnan (ed.), 1957). Penyediaan soma ini juga dilakukan mengikuti aturan tertentu selaras dengan kepentingan persembahannya. Dalam upacara korban, soma ini dinyanyikan pujian-pujian (saman) oleh penyanyi resmi (utgutar). Upacara para korban harus secara tepat mengikuti aturan yang sudah ditentukan. Jika ada sedikit saja aturan yang terlewat, maka persembahan korban itu dianggap tidak sah (Poedjawijatna, 1986).
Untuk menjaga keabsahan upacara korban, harus ada seorang ahli korban yang berperan sebagai pengorban. Ialah yang dapat menentukan baik tidaknya dan sah tidaknya korban itu. Korban disebut brahma dan ahli korban disebut brahmana. Ada kemungkinan istilah brahma pada awalnya berarti ‘doa’ atau ‘ucapan’ dari asal kata brh yang berarti meletupkan, atau mengungkapkan atau mengembangkan (Raja dalam Radhakrishnan (ed.), 1957). Kata itu digunakan dalam upacara korban arti katanya lalu berubah menjadi korban.
Sehubungan dengan upacara-upacara perngorbanan ini, Veda digolongkan menjadi 4 golongan:
1.      Rig Veda, merupakan Veda tertua, berisi pujian.
2.      Sama-Veda, berisi nyanyian-nyanyian yang dinyanyikan utgatar waktu orang menyediakan minuman untuk upacara korban yang amat penting.
3.      Yajur-Veda, berisi mantra-mantra dalam bentuk prosa, biasa dipergunakan dalam pengorbanan yang sebenarnya.
4.      Atharwa-Veda, berisi uraian dan doa-doa yang harus dikenal para bhramana.
Menurut Veda, korban dipersembahkan bagi dewa. Banyak dewa yang disebut dalam Veda, tetapi yang utama hanya beberapa saja. Yang paling berkuasa adalah Indra, Dewa Guntur dan Perang. Bangsa Arya sebagai bangsa yang senang perang, sangat sering melakukan persembahan korban kepada Dewa Indra. Selain itu Dewa Vishnu (Penyelenggara alam semesta), Agni (Dewa Api), Surya (Dewa Matahari), Vayu (Dewa Angin), dan Rudra (Dewa Perusak) merupakan dewa utama yang sering dituju oleh persembahan korban. Dewa-dewa tersebut merupakan wakil dari kekuatan alam. Nama dewa-dewa itu dalam bahasa Sansekerta memiliki arti dari kekuatan alam-alam yang diwakilinya.
Selain pengertian tentang korban dan dewa dikenal pula istilah rita yang merujuk pada hukum dan aturan yang mengatur alam dan isinya. Rita juga mencakup hukum  yang mengatur hubungan antara suami-istri, anak-orangtua, pembesar dan bawahan, dan sebagainya. Rita bukanlah dewa. Ia meliputi segala-galanya, baik dewa maupun isi dunia lainnya. Rita tak berkehendak dan tak berbudi yang merupakan aturan dan hukum yang tak boleh diabaikan atau dilanggar. Rita adalah Tuhan sebagai harmoni abadi, suara primordial, getaran, atau frekuensi kehidupan subtil Tuhan di balik wilayah kesadaran biasa, tetapi dapat dicapai melalui kontemplasi (teasdate dalam Ruslani, 2000).
Kesadaran akan rita ini bagi orang Hindu merupakan pangkalan pikiran yang amat dalam. Kesadaran ini memunculkan pertanyaan: “Kalau sesungguhnya rita itu meliputi dewa, dunia dan isinya, maka apa beda dewa dan manusia?” Pertanyaan ini menjadi salah satu pemicu pemikiran filosofis dalam kebudayaan hindu. “Pada intinya tidak terlalu beda antara dewa dan manusia.” Pemikiran ini muncul sebagai jawabannya. Dewa-dewa itu seperti manusia juga, namun dunianya lebih makmur. Sifat mereka agak melebihi manusia, tidak menjadi tua, tidak mati, namun mungkin sedih hati, bingung, cemburu, sombong, bisa tidak baik hati, dan sebagainya.
Pengertian tentang rita dan implikasinya terhadap kesamaan antara dewa dan manusia, lambat laun mengarahkan perhatian para ahli pikir vedisme kepada manusia. Menurut mereka, jika orang sungguh-sungguh dapat memahami manusia sedalam-dalamnya ada kemungkinan dapat memahami alam seluruhnya. Sejarah pemikiran Hindu selanjutnya menunjukkan manusia sebagai perhatian utama dalam pemikiran filosofisnya.
Di dalam masyarakat Hindu, berkembang sistem kasta (golongan) yang menentukan tingkatan status sosial manusia dalam masyarakat. Tingkatan kasta itu adalah: 1) brahmana, 2) Ksatria (bangsawan, raja dan keturunannya), 3) vaisya, dan 4) sudra. Brahmana merupakan kasta yang tertinggi karena ialah penentu sah tidaknya suatu upacara korban. Sementara sah tidaknya korban, menentukan apakah keinginan atau permintaan si Pengorban diterima atau tidak. Menurut tradisi vedisme, upacara korban merupakan kegiatan terpenting yang menentukan kesejahteraan dan keselamatan hidup manusia.
Kaum Brahmana memiliki tugas untuk memahami dan menerangkan Veda kepada kasta yang lain. Untuk dapat menjalankan tugasnya, mereka menjalankan pendidikan brahmana, yang disebut asrama, mulai dari masa remaja hingga masa dewasa akhir. Pendidikan yang mereka jalani meliputi kehidupan praktis sehari-hari sampai merenung dan berpikir mendalam melalui kegiatan bertapa. Seorang brahmana yang matang harus mampu meninggalkan segala sesuatu yang dimilikinya dan kehidupan duniawi.
Pada perkembangan selanjutnya, kaum  brahmana inilah yang mengembangkan pemikiran Hindu yang kemudian menjadi filsafat Hindu atau yang juga disebut brahmanisme (Poedjawijatna, 1986). Para brahmana inilah yang pada awalnya merupakan filsuf-filsuf Hindu. Warisan tertulis dari para brahmana ini berupa penjelasan-penjelasan tentang korban dan arti korban (Kitab Brahmana), renungan-renungan dan keterangannya dalam bentuk kiasan (Kitab Arnyaka), serta kitab Upanishad berupa renungan filosofis yang berpengaruh besar terhadap alam pemikiran Hindu (Raja dalam Radhakrishnan (ed.), 1957).
Dalam Hinduisme, ajaran agama dan filsafat saling melengkapi dan saling menjelaskan. Para brahmana melakukan perenungan filosofis dalam rangka memperkaya pemahaman tentang manusia, alam semesta, dan Tuhan Yang Maha Kuasa. Para brahmana yang melakukan perenungan filosofis ini dikenal pula dengan sebutan filsuf Hindu. Perenungan para filsuf Hindu ini sudah dilakukan sejak lama dan hasil perenungannya banyak mempengaruhi perkembangan ajaran agama hindu. Dalam buku-buku tentang Hindu, ditunjukkan betapa agama dan filsafat memiliki keterkaitan yang erat. Dengan adanya filsafat dalam Hinduisme, ajaran agama Hindu menjadi dinamis dan banyak mengalami penambahan yang memperutuh pemahaman manusia tentang kehidupan manusia di alam semesta.

Kebijaksanaan Hinduisme dalam Brahman
(Perkembangan Pengertian tentang Yang Maha Kuasa)
Para filsuf Hindu dalam perenungannya tentang manusia, alam, dan dewa-dewi menemukan hal-hal yang tidak memuaskan dalam penjelasan-penjelasan awal vedisme. Misalnya dalam upacara korban: orang yang berkorban bagi dewa-dewi dapat memaksakan keinginannya supaya terkabul. Dari sini muncul pertanyaan: Siapakah yang berkuasa, manusia atau dewa? Di sini terkesan manusialah yang berkuasa atas dewa karena dapat memaksakan keinginannya untuk dikabulkan dewa. Namun manusia tak bisa berbuat apa-apa tanpa upacara korban. Lebih khusus lagi, manusia tak dapat berbuat apa-apa tanpa korban. Jadi, korbanlah (brahma) yang berkuasa.
Pemikiran tentang siapa yang berkuasa lalu dikaitkan dengan rita yang merupakan aturan dan hukum yang mengatur segala sesuatunya. Menurut mereka, dalam alam semesta hanya ada satu kekuasaan yang mengatur segala-galanya. Kekuasaan ini boleh dianggap sebagai pusat alam semesta. Jika sekiranya pusat alam semesta itu harus diberi nama, maka nama yang tepat adalah brahma. Sebab dalam renungan mereka dan dalam perasaan kebanyakan orang Hindu pada masa itu, yang berkuasa – bahkan yang terkuasa – dalam acara pengorbanan adalah korban atau brahma. Dari pemikiran inilah lalu kata brahma yang awalnya berarti korban kemudian merujuk ke pengertian Yang Maha Kuasa. Dengan perkataan lain bisa juga diartikan sebagai yang menguasai segala sesuatunya, pusat dunia, dan bahkan pusat alam semesta (Raja dalam Radhakrishnan (ed.), 1957). Pada perkembangan selanjutnya, istilah yang lebih umum digunakan untuk merujuk Yang Maha Kuasa adalah Brahman agar dapat dibedakan dengan Dewa Brahma dan brahman dalam arti korban. Brahman adalah roh yang paling tinggi, di luar jangkauan manusia, tidak terbatas oleh waktu dan ruang. Brahman dapat dijumpai di seluruh alam semesta. Dia di atas segalanya. Dia adalah asal dari segala ciptaan (hakikat rahasia, hakikat sukacita, dan sang sejati).
Brahman adalah seluruh dunia yang mengelilingi kita, namun dia adalah dunia yang juga berada di dalam diri kita. Dunia yang ada di dalam diri kita disebut atman (jiwa). Baik Brahman maupun atman adalah satu, meskipun manusia tidak selalu menyadarinya.
Brahman ini menggunakan banyak wujud yang dapat dilihat. Bagi orang Hindu, Allah adalah asal dari segala ilmu pengetahuan dan segala sesuatu yang dapat dikenali melalui tanda-tandaNya. Allah adalah segala kebenaran, Segala Ilmu Pengetahuan, Segala Kegembiraan, Tidak berwujud, Yang Mahakuasa, Yang Adil, Yang Murah Hati, Yang Tidak Diperanakkan, Yang Tidak terbatas, Yang tidak dapat berubah, yang tidak berawal, Yang tidak ada yang menyamai, Yang menanggung segala sesuatu dan Tuhan dari segala sesuatu, yang mahatahu, yang kekal, yang hidup selamanya, yang bebas dari rasa takut, yang abadi, yang kudus, asal alam semesta. Hanya kepadaNyalah kita menyembah.
Di antara potensi-potensi atau daya-daya kekuatan, daya-daya kekuasaan yang terdapat di mana-mana, Brahman mengambil tempat yang penting sekali. Agak sukar untuk mendefinisikan mengenai Brahman. Brahman menyatakan kata, syair-syair, mantra-mantra dari Weda. Brahman menyatakan diri dalam upacara (ritus) dan yang dimiliki oleh mereka yang mengerti Weda dan berhak mengerjakan ritus. Brahman adalah pandita (brahmana) dan seluruh golongan pandita. Mantra-mantra yang diucapkan oleh para pandita pada persembahan-persembahan adalah Brahman, suatu potensi yang memberi berkat, sehingga seorang pujangga itu pula dapat membinasakan daya-daya kekuatan jahat. Para pandita dapat juga mengisi, mempersegar, memperkuat dewa-dewa dengan Brahman. Dewa lainnya menggunakan Brahman untuk membelah dewa jahat. Bagi para dewa pun Brahman menjadi suatu ‘barang ajaib yang tidak dapat dikenal.’ Daya tumbuh yang ajaib dan daya tenaga yang menyebabkan  matahari terbit adalah Brahman. Brahman yang meletakkan  bumi dan membentangkan langit di atasnya, seperti lapisan udara (atmosfer) meluaslah ia mendatar dan meninggi.
Pada satu pihak, Brahman itu dilukiskan sebagai benda, di pihak lain sebagai sesuatu yang rohani atau sebagai suatu pengertian yang abstrak.  Tetapi ia pun menyerupai kepribadian, sebab ia berpikir dan berkata-kata dengan para dewa. Adakalanya Brahman dipersamakan dengan tata-tertib dunia dunia, ‘rta’ (rita), ‘serta’ yakni yang ada kenyataan, yang sejati. Terkadang dipersamakan juga dengan matahari atau angin.
Dalam Upanishad, Brahman merupakan kata kunci yang paling penting. Itulah sebabnya kitab-kitab Upanishad sering juga disebut sebagai Brahmanisme (ajaran mengenai Brahman) atau Brahma-vidya (pengetahuan tentang Brahman) dan uraian tentang ajaran pokok Upanishad disebut juga Brahma Sutras (ulasan tentang Brahman). Brahman dalam sering dikemukakan dalam dua macam bentuk antagonis: yang berbentuk dan yang tidak berbentuk, yang dapat mati dan yang tak dapat mati, berkaitan dengan dunia yang “fenomenal” dan yang “noumenal”. Namun dengan mengutip Chandogya Upanishad, Hume, menyatakan bahwa Brahman yang tak berbentuk, yang imortal, ternyata lebih berarti, lebih penting, sehingga atas dasar ini, yang dianggap sebagai kesatuan tanpa diferesiasi, keragaman dunia inderawi dinyatakan sebagai khayal. Brahman yang mahatinggi ini, yang mengatasi apa yang fenomenal, kesatuan yang murni disebut dalam berbagai kutipan yang kesemuanya dapat dirumuskan dalam ungkapan negatif “bukan ini, bukan itu!” (neti neti; BAU 2.3.6.; 3.9.26;4.2.4).
Dalam Hinduisme, Allah bukan laki-laki atau perempuan, tetapi karena Brahman melingkupi segala mahkluk, Ia bisa berwujud laki-laki, perempuan dan bahkan binatang. Dia dipercaya sebagai Sang Hyang Widhi (pencipta, pemelihara, dan pelebur alam semesta dengan segala isinya). Tuhan adalah sumber awal, dan akhir, serta pertengahan dari segala yang ada.
Di Barat tradisi Semit mengajarkan Tuhan atau Allah sebagai yang esa dan berpribadi. Dalam Upanishad segalanya sangat berlainan, sebab Brahman merupakan istilah yang elusip, tak mudah dipahami. Dia dapat diartikan baik sebagai Tuhan yang berpribadi mau pun Absolut impersonal. Istilah Brahman tak ada padanannya dalam bahasa Barat.

Hubungan Atman dan Brahman
Atman adalah percikan kecil dari Brahman (Paramatman). Atman dalam badan manusia disebut jiwatman, yang menyebabkan manusia itu hidup. Atman dipercaya merupakan bagian dari Tuhan, bagaikan titik embun yang berasal dari air laut yang menguap karena pengaruh suhu tertentu. Atman mempunyai beberapa sifat, yaitu: Achodya (tidak terlukai oleh senjata), Adahya (tidak terbakar oleh api), Akledya (tidak terkeringkan oleh angin), Acesyah (tidak terbasahkan oleh air), Nitya (abadi), Sarwagatah (di mana-mana ada), Sthanu (tidak berpindah-pindah), Acala (tidak bergerak), Sanatama (selalu sama), Awyakta (tidak dilahirkan), Achintya (tidak terpikirkan), Awikara (tidak berubah dan sempurna), dan tidak berkelamin (bukan laki-laki dan perempuan).
Sering dikatakan bahwa ajaran pokok dari kitab-kitab Upanishad adalah persekutuan antara Atman dan Brahman. Tetapi pernyataan yang sederhana semacam ini tanpa penjelasan lebih lanjut malahan dapat membingungkan, sebab Atman dapat pula menunjuk pada Brahman. Jika demikian identitas atau persekutuan Atman dan Brahman tidak menjelaskan apa-apa.
Banyak ahli telah mencoba menjelaskan hubungan antara Atman dan Brahman. Di bawah ini beberapa pandangan yang bisa kita perhatikan:
a)      Atman dan Brahman merupakan dua aspek berbeda dari satu kenyataan yang sama. Atman diterangkan sebagai aspek subyektif dari seluruh kenyataan, yang mengantar seluruh kenyataan menuju kedalaman dirinya, sedang Brahman lebih menunjuk aspek obyektif atau keluasan dirinya.
b)      Atman merupakan inti atau hakekat yang tinggal dalam lubuk kenyataan, sedang Brahman merupakan daya magis yang menyangga seluruh kenyataan ini dari luar. Dengan demikian keduanya merupakan unsur pembentuk yang saling melengkapi dari kenyataan yang satu dan sama
c)      Keduanya juga bisa dianggap saling melengkapi dalam arti bahwa Brahman merupakan kenyataan yang tak terketahui yang memerlukan penjelasan, sementara Atman adalah yang terketahui, lewat mana Brahman memperoleh penjelasannya atau maknanya.
d)     Brahman merupakan prinsip pertama sejauh kita bicara mengenai alam semesta, sedang Atman merupakan jatidiri manusia yang terdalam. Maka Brahman bisa dianggap sebagai prinsip kosmis dari seluruh alam raya, Atman sebagai prinsip psikis.
e)      Atau Brahman merupakan akhir yang telak dari pencarian secara obyektif, sedang Atman merupakan akhir yang telak dari pencarian secara introspektif.

Kebijaksanaan Hinduisme dalam Dharma dan Kehidupan Moral
Kata dharma berasal dari akar kata dhr, yang berarti “memegang, bertahan, memasang, mendukung, membuat kencang”. Prof. Zaehner membandingkannya dengan kata Latin, firmus darimana dibentuk kata forma. Dharma dalam pemahaman ini adalah sesuatu yang memberi bentuk, yang membuatnya tetap dan tidak berubah. Menuruh M. Dhavamony, bersama kata dhaman – dhaman sendiri dari akar kata dha yang berarti “menaruh, menetapkan” – dharma boleh diartikan sebagai sesuatu yang “menetapkan sebagai miliknya”, “yang menguasai atau menjalankan”; bisa dibandingkan dengan kata Yunani thronos yang berarti “kedudukan, pemerintahan”.
Sebetulnya kata dharma sudah digunakan juga baik dalam Veda maupun Brahman, tetapi sangat terbatas. Dalam Rig-Veda, dharma ditunjukkan sebagai aturan berkenaan dengan upacara korban, misalnya cara menyalakan api sesuai dengan kebiasaan lama atau aturan yang harus ditaati agar pemujaan kepada dewa dilakukan dengan benar, sedang dalam kitab-kitab Brahmana dharma praktis menduduki fungsi “kewajiban” berkaitan dengan upacara korban.
Chandogya Upanishad rupanya merumuskan seluruh pengartian dharma dalam ajaran Veda sebagai berikut:
“Ada tiga macam pokok (dharma). Yang pertama adalah korban, pelajaran Veda dan pemberian dana. Yang kedua adalah tapa. Yang ketiga adalah tinggal sebagai murid untuk pengetahuan suci di rumah seorang guru dan berlaku dengan sangat rendah hati di rumahnya. Semuanya ini mendatangkan dunia yang disediakan bagi orang-orang utama (sebagai upah mereka). Dia yang tetap teguh dalam Brahman mencapai imortalitas.”
Memang dalam Upanishad pengertian dharma secara moral belum terlalu nampak. Akan tetapi petunjuk-petunjuk awal sudah bisa dilihat misalnya dalam teks Katha Upanishad:
“Bukan orang yang tak hentinya berbuat kesalahan, bukan pula yang tak kenal damai dan yang tak bisa memusatkan diri, bukan pula orang yang pikirannya dipenuhi dengan kegelisahan, yang dapat meresapkan dia (tuhan), biar pun dia bijak maupun pandai.”
Orang-orang yang tak pernah bersih akan selalu menjadi korban reinkarnasi dan gagal mencapai tujuan akhir:
“Orang yang tak tahu membeda-bedakan, tak punya pikiran, tak pernah bersih, dia tak mencapai keadaan (mulia) itu, kembali ke perputaran kelahiran dan kematian yang tak pernah ada akhirnya ini.”
Di sini Tuhan dipikirkan sebagai yang murni, yang bebas dari kejahatan dan dharma digunakan sebagai ciri dan hakekat dari Tuhan. Sementara dalam fase sebelumnya tuntutan lebih diletakkan pada aturan ritual, untuk memberikan persembahan pada upacara korban, sekarang Upanishad memandang tuntutan religius terletak pada tapa, matiraga, kemurahan dan kelurusan hati, dharma, tidak membuat cedera dan menjalankan kebenaran. Dalam semua sifat ini, manusia mengambil Tuhan sebagai modelnya.
Dengan demikian dharma yang semula berkaitan dengan upacara korban itu selanjutnya berkembang. Dharma bisa diartikan sebagai hukum yang mengatur kelangsungan alam semesta maupun kehidupan manusia. Dalam arti pertama, para dewa pun terkena dharma, sebab mereka termasuk dalam kehidupan kosmis. Tradisi beranggapan bahwa kehidupan para dewa pada hakekatnya berupa permainan, namun mereka tidak sewenang-wenang dalam bermain, sebab dharma merupakan peraturan permainan yang mengikat atau yang harus ditaati. Pada manusia dharma menjadi kewajiban moral yang harus ditaati.

Moksa atau Pembebasan
Menurut Hindu, keselamatan adalah pencapaian oleh pemikiran filosofis pada perkataan bijaksana dan melalui meditasi, kelepasan dan kebebasan dari roda kehidupan (moksa). Hal ini datang ketika individu mendapati jiwanya (atman) yang identik dengan jiwa universal (brahman). Barangsiapa yang ingin mendapat keselamatan atau kelepasan, ia harus menghapuskan segala keinginannya. Caranya dengan mengenal akan dirinya sendiri. Jika orang mengenal akan dirinya sendiri, maka ia akan bebas dari kematian. Kelepasan ini dapat dicapai dengan melepaskan diri dari segala kekuasaan karma dan melpaskan diri dari segala macam perbuatan. 
Dari gambaran ini, nampaklah bahwa yang dicari orang-orang Hindu bukanlah kehidupan abadi, dalam arti kelanjuta atau sekedar perpanjangan hidup duniawi, sebab jiwa sudah dengan sendirinya bersifat abadi, sehingga mau tak mau hidupnya akan selalu diperpanjang dalam bentuk lain. Yang mereka cari justru pemutusan dari perpanjangan waktu yang terus menerus ini, atau pembebasan dari dunia yang mengalir ini, sehingga ia bisa lepas dari reinkarnasi yang berulang-ulang. Itulah yang disebut moksha atau mukti.
Seperti sudah disebut di atas, kehidupan orang-orang pada masa itu sangat dicemaskan menyangkut keselamatannya sesudah kematian. Ajaran perpindahan jiwa dengan demikian mengandaikan bahwa jiwa bersifat kekal, tak dapat mati dan karenanya kematian badan hanya akan memaksa jiwa untuk bebas, kalau ia sudah mencapai moksha atau kembali ke dunia dengan badan lain apabila masih harus memenuhi karmanya.
Dalam kitab Brahmana, sebetulnya ada dinyatakan bahwa upacara korban yang dilakukan seseorang dapat menghapus tindakan keliru dari nenek-moyangnya. Menurut Biardeau, upacara korban dalam masa ini dapat mencapai tiga macam maksud. Dalam hal yang pertama, korban ditempatkan dalam konteks kosmogoni, untuk memenuhi maksud pembaharuan kosmis. Dalam hal yang kedua, korban ditempatkan dalam konteks hubungan sosio-kosmis, untuk menjalin hubungan baik dengan para dewa, nenk-moyang dan roh-roh yang tidak kelihatan. Dalam hal yang ketiga, korban ditempatkan dalam upaya untuk mengutarakan kebutuhan-kebutuhan pribadi.
Dalam arti yang kedua itulah anak lelaki sangat diperlukan karena mempunyai peran untuk melanjutkan upaya pembebasan dari karma. Dari sini nampak adanya pengandaian bahwa jiwa bersifat kekal dan memerlukan pembebasan dan reinkarnasi. Akan tetapi dalam Upanishad, jiwa lebih dipandang dalam individualitasnya daripada dalam ikatannya dengan keluarga yang masih hidup. Dalam pengertian ini, korban menjadi berkurang kepentingannya karena setiap orang bertanggung jawab terhadap jiwanya sendiri dan tak perlu menggantungkan diri kepada anak lelakinya.
Dalam brhadaranyaka-Upanishad, mukti diutarakan sebagai pembebasan empat macam, yang secara ritual diwujudkan oleh hotr, adhvaryu, udgatr, dan brahman yang bertugas. Tetapi pembebasan di sini hanya menyangkut ikatan-ikatan psikosomatis. Selanjutnya dikatakan:
“Ketika semua hasrat yang membungkus hati melepaskan diri (mukti), barulah orang yang dapat mati itu menjadi imortal: ia mencapai Brahman.”
Di sini pembebasan dikatakan sebagai “mencapai Brahman”, hal ini masih akan kita jelaskan lebih lanjut dalam pokok-pokok berikut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar